December 21, 2006

Mencari Teman dalam Perziarahan



Tempo hari, salah satu account executive di kantor saya melangsungkan pernikahan. Dalam acara yang dilangsungkan sesuai adat Sulawesi tersebut, kedua mempelai terlihat begitu bahagia. Usia keduanya masih tergolong muda menurut saya, sekitar 28 tahunan. Selama perjalanan pulang, saya dan dua orang kawan bercakap soal kawin muda ini. Salah seorang menyebut bahwa ia juga akan mengakhiri masa lajang di tahun 2008, toh masa pacaran dengan sang calon sudah berjalan kurang lebih 5 tahun katanya. Seorang lagi juga mengatakan kalo keinginananya naik ke pelaminan sebenarnya tinggal beberapa tahun lagi, andai saja tidak putus dengan gandengan yang selama 5 tahun terakhir ini dikencaninya.

Habislah saya! Selama ini saya benar-benar jauh dari soal pacaran apalagi jika menyangkut pernikahan. Semua kisah romantisme saya selalu berakhir pada satu alur yang sama,... mantan calon,.. lha wong jadian aja juga belum pernah!
Saya sendiri cukup kecewa dengan kenyataan bahwa di usia 24 ini, saya masih belum menemukan tambatan hati alias pacar. Tanpa bermaksud menyesali kehidupan yang sudah berlalu, namun saya merasa bahwa beberapa pilihan hidup yang telah saya ambil di masa lalu, memiliki dampak pada peruntungan jodoh saya di abad milenium ini. Mulai dari SMA misalnya, saya mulai menyadari bahwa keterasingan saya terhadap pergaulan dengan lawan jenis berawal di De Britto, dimana semua siswanya adalah laki-laki. Apalagi nilai saya yang jeblok pada pelajaran eksakta mengharuskan saya untuk mengambil les matematika sepulang sekolah daripada nongkrong di sekolah cewek seperti Stella Duce maupun Santa Maria seperti yang kawan-kawan saya pada umumnya.

Akibatnya, ketika memasuki bangku perkuliahan. Saya tidak dibekali kemampuan dasar yang cukup untuk menggaet seorang wanita sekalipun. Kuliah lebih banyak berakhir sebagai acara kongkow-kongkow saja,... dengan makluk sesama jenis tentunya! Malam minggu selama 5 tahun di Universitas seringkali dilewatkan dengan kegiatan-kegiatan yang berpotensi meresahkan masyarakat! Sebenarnya, untuk soal sayang-sayangan ini, saya tidak kalah berusaha! Saya selalu sungguh-sungguh untuk urusan mendapatkan belahan hati. Saya selalu mempelajari target dengan serius dan selalu bisa mendapatkan celah yang tepat. Jujur saja, saya percaya pada kemampuan soal riset dan mengolah how-to-say "I Love You". Namun entah kenapa hasil tidak seperti yang selalu
diharapkan. Saya justru mulai berpikir apakah target saya selama ini adalah kelewat tinggi. Mantan calon saya secara rata-rata adalah mereka yang memiliki IPK diatas 3,0, kebanyakan dari mereka terlibat aktif dalam organisasi universitas, dan memiliki pemikiran yang terlampau mandiri. Inilah alasan mengapa saya kurang tertarik dengan kampanye soal emansipasi ataupun kesetaraan gender. Saya lebih pro terhadap sistem patrilineal!

Omong-omong saya lumayan percaya dengan apa yang disebut sugesti. Tarot, ramal tangan, hingga kolom astrologi di media, tak pernah luput dari keingintahuan saya soal asmara. Ketika di Jogja dulu, sempat beredar juga cerita di kalangan teman-teman Katolik untuk soal pacaran ini. Konon, Sendang Sriningsih Klaten adalah tempat manjur untuk berdoa minta jodoh pada Tuhan Yesus. Menurut saya itu adalah mitos yang benar-benar bodoh, apalagi ketika saya berkunjung kesana dan harus mendaki anak tangga yang lumayan banyak hanya menerima kenyataan bahwa doa Rosario saya selama setengah jam yang terucap 2 tahun lalu sama sekali belum terkabulkan juga hingga hari ini. Jika Anda adalah seseorang yang berharap pada kekuatan doa untuk mendapatkan cinta,... percayalah, Tuhan tak bisa banyak membantu. Saya sering mengalaminya!

Nah, sekarang saya sudah benar-benar pada titik jenuh! Pertama karena soal poligami yang akhir-akhir ini marak sebagai tajuk utama di media massa. Mulai dari AA Gym yang semakin menguatkan alasan orang untuk memiliki istri lebih dari satu hingga beberapa kolega saya yang sempat melacur (melakukan curhat) tentang aktivitas selingkuh mereka. Kedua adalah soal simpanan para pejabat. Mulai dari Maria Eva yang terlibat skandal dengan petinggi negara, sampai Alda yang gosipnya dibungkam lantaran pelanggannya yang rata-rata adalah para pembuat kebijakan di negeri ini. Ketiga, saya semakin terpancing emosi dengan situasi di kos akhir-akhir ini karena kos saya yang relatif bebas memudahkan siapapun membawa pasangan untuk diajak menginap. Keempat adalah para lesbian yang belakangan ini sering saya jumpai secara tidak sengaja di situs Friendster. Saya betul-betul heran, apakah mereka sudah hilang akal dengan mencintai sesama jenis di saat saya menghabiskan hampir separuh dari usia untuk mencari seorang wanita sebagai pacar.

Seorang kawan sempat menasehati saya soal masalah percintaan ini. Menurutnya segala sesuatu akan indah pada saatnya. Bahwa saya memang harus menunggu untuk menemukan dia, sosok wanita yang kelak akan menjadi pasangan jiwa saya. WHAT THE FUCK?! Sudah sekian lama saya menunggu dan berusaha tapi masih saja terpaut jauh dari titik cerah. Beruntunglah saya yang selama ini berkarya di sebuah tempat yang menuntut penyerahan diri total, fisik dan jiwa, dimana waktu selama 24 jam seakan tidak pernah cukup. Setidaknya selama 7 hari dalam seminggu saya tidak terlalu memikirkan tentang masalah ini. Yahh, capek memang jika melihat selama ini terjadi. Menantikan datangnya jodoh yang tepat plus terus-terusan menerima konsekuensi sakit hati dari segala penolakan selama menemukan teman dalam perziarahan. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda perempuan, lajang, dan seorang yang mendambakan sosok beruang madu sebagai tambatan hati? Bisa jadi Tuhan sudah mengikatkan ujung hati kita,...

December 13, 2006

Saya Tidak Mau Bekerja di Agensi Iklan!



Selama 8 bulan disini saya acapkali mendengar kata Brand. Mulai dari nama kantor yang menggunakan embel-embel Brand Consultant, terus masih ada Brand Building, sebuah creative training yang diadakan di kantor , ada juga BrandCab untuk menyebut blanko brief yang biasa dipakai, brand positioning, branding, brand manager, brand development. Singkatnya istilah Brand rasanya tidak akan jauh-jauh dari keseharian saya selama ini.

Dalam Brand Building Training beberapa minggu lalu, Managing Director saya menyebut bahwa brand bukan sekedar terminologi untuk penaman produk alias merek semata.
Brand adalah suatu makhluk hidup dengan karakter layaknya manusia yang kelangsungan hidupnya bergantung pada kekuatan serta visi yang dimilikinya. Brand bukanlah label Coca Cola yang tertera pada kemasan minuman soda melainkan nama yang akan selalu muncul dalam benak ketika haus pada kerongkongan muncul. Brand juga bukan sebatas logo pada kendaraan Honda Jazz namun sebuah nama yang keluar ketika sebuah pertanyaan mengenai city-car favorit terlontar pada seorang anak muda. Brand adalah nyawa dari sebuah produk yang hidup dalam benak kita dan akan selalu menunggu untuk muncul terlebih ketika kita berada dalam situasi melakukan transaksi.

Lebih lanjut, brand terkait dengan banyak hal. Mulai dari logo, kemasan, asosiasi pemikiran, kedekatan emosi, konsumen, harga, pasar, komunikasi iklan dan produk itu sendiri. Semua hal tersebut akan mempengaruhi persepsi kita terhadap sebuah brand. Sebuah contoh sederhana semisal, Mount Blanc dengan Pilot tidak akan jauh berbeda jika dilihat dari nilai fungsi yang dimiliki yakni sebagai sebuah pena. Namun pengetahuan kita tentang nilai ekslusif Mount Blanc, informasi tentang kualitas material dan proses pembuatannya, serta labelisasi harga yang jauh dari sekedar pena biasa telah mendorong persepsi kita untuk menilai Mount Blanc sebagai produk pena berstandar tinggi dan masuk akal apabila memiliki nilai nominal hingga jutaan rupiah sekalipun. Pengetahuan, informasi antar personal, pemahaman pribadi hingga doktrinasi jelas akan berpengaruh. Dalam hal ini segala bentuk maupun aktivitas komunikasi akan sangat bernilai signifikan bagi sebuah brand.

Bergincu pada peranannya sebagai instrumen komunikasi tersebut, seharusnya iklan tidak hanya menjadi sekedar TV commercial, print-ad, radio-spot maupun banner. Sebuah iklan harus mampu menjadi bagian dari usaha dalam menciptakan dan menghidupkan visi brand untuk menjadi sebuah karakter. Karena dengan memiliki karakter itulah, sebuah brand bisa membedakan diri dari berjuta produk pesaing meski sama-sama memiliki unique selling proposition yang relatif tidak jauh berbeda. Saya percaya bahwa diantara sekian banyak makanan Waffer, kita hanya bisa menyebutkan
beberapa merek saja. Dari sekian banyak balsem, mungkin hanya sekian merek saja yang kita kenal dan dengar. Inilah kekuatan sebuah brand, dan inilah yang selama ini harus menjadi arah pandang maupun berpikir saya. Saya tidak bekerja di sebuah agensi iklan dan saya tidak membuat iklan. Saya adalah seorang brand consultant dan saya berkarya dengan menciptakan visi brand agar bisa hidup, berkarakter dan berkembang.

Di sini wawasan pengetahuan dan sensitivitas adalah luar biasa dibutuhkan. Bahwa saya harus bisa menggali pengetahuan mengenai brand setiap detilnya dan memahami keinginan terdalam konsumen. Sehingga pada akhirnya saya tidak hanya akan mendapatkan what-to-say dan how-to-say dalam sebuah kerangka komunikasi massa saja. Namun bisa menemukan momentum yang tepat bagi sebuah kegiatan komunikasi. Momentum dimana sebuah brand yang ditampilkan pada layar televisi, lintas nirkabel, suratkabar, maupun radio tidak dapat dikalahkan oleh tombol remote dan diganti salurannya. Momentum dimana sebuah brand akan berbicara dan orang akan mendengar, melihat, serta mempercayainya. Momentum yang hanya akan saya dapatkan jika berkarya sebagai Brand Consultant dan bukan di agensi iklan. Suatu hari nanti, saya akan menemukannya.

October 28, 2006

I Am an Actor



Boleh dibilang, kali ini adalah sekuel atau lanjutan dari artikel Menulis dengan Hati yang saya posting beberapa minggu lalu. Saya ingin bercerita soal tambahan ilmu yang saya peroleh kira-kira seminggu lalu. Begini, di agensi iklan tempat saya bekerja sedang dilakukan pelatihan untuk departemen kreatif, tentu saja saya yang masih berstatus penulis naskah junior tidak akan melewatkan kesempatan belajar ini. Mengingat juga bahwa training tersebut dibimbing langsung oleh managing director yang selama ini memiliki standar dan kecakapan kreatif yang amatlah tinggi. Pada sesi training kedua yang kurang lebih berlangsung 2 jam tersebut, saya belajar sebuah hal baru yang menurut saya, potensial membantu keinginan untuk bisa menulis naskah iklan dengan hati.

BE AN ACTOR! Always be adaptable to play and switch your role! Always stand in your consumer's shoes! So you'll understand about what they want, when they need, where they were, why they buy and how they talk, because they are you!
AHA!! Menurut saya ini adalah sebuah kunci baru yang bisa jadi cocok untuk membuka kotak Pandora tentang bagaimana untuk menjadi seorang penulis naskah yang baik, dia yang bisa menulis dengan kesungguhan hati dan kemampuan menyentuh kedalaman keinginan konsumen.

Be an Actor,... mmh tidak sesulit kelihatannya, ketika menangani klien dengan produk anak-anak ini tak jadi soal. Saya juga pernah menjadi seorang kanak-kanak dan menjadi kekanak-kanakan juga tidak susah untuk saya lakukan. Be an actor,... oke! saya bisa jadi seorang sopir truk ketika mengerjakan account untuk sebuah kendaraan truk, saya seorang jawa dan memiliki pakde seorang pengemudi kontainer, saya cukup familiar dengan omongan para pengendara 6 roda. Be an actor,... sama sekali bukan masalah besar.

Oops saya lupa! saya ikut bertanggung jawab untuk komunikasi pemasaran sebuah dept. store yang selama ini lebih banyak menjual busana wanita, mulai dari lingerie sampai aksesori, from head to toe. Saya juga harus mengerjakan kampanye komunikasi untuk sebuah pengembang perumahan, dengan konsumen utama keluarga. Pernah juga saya mendapat brand untuk produk pembalut wanita, apartemen seharga 3 milyar, ataupun city-car untuk sasaran utama yakni para anak manja yang melulu hanya bisa menengadahkan tangan kepada orang tua.

Jika menjadi aktor adalah menjiwai sosok karakter target sasaran komunikasi maka menurut saya ini adalah gampang-gampang susah. Bagaimana saya bisa menokohkan diri ketika selama ini saya jauh dari peran-peran tersebut? Bagaimana saya bisa mengkomunikasikan produk wanita jika pada kenyataannya saya masih belum bisa menipu satu cewek semasa kuliah dan SMA?
Bagaimana mungkin saya menyampaikan pesan utama bahwa Anda harus memiliki mobil dengan standar keamanan bintang empat Eropa kalau sepeda motor yang saya kendarai hanya mengandalkan rem belakang?

Be an Actor? Mungkin selama 16 bulan ini saya lebih banyak duduk di belakang meja dan bukannya berdiri di atas pemahaman konsumen. Mungkin juga saya keseringan membuka situs riset dan Wikipedia ketimbang ngobrol bareng sasaran utama. Mungkin saya melupakan tugas utama saya sebagai penulis yang harus lebih bisa melihat apa yang tidak terlihat. Jelas sudah, saya harus belajar menjadi aktor! Saya HARUS bisa menokohkan diri agar tulisan saya memiliki jiwa.

Dan saya pun datang dengan berbagai rencana! Membeli buku sket adalah yang pertama. Saya memiliki target untuk meneliti karakter profesi masyarakat Jakarta. Dengan buku sket saya bisa mendeskripsikan sekaligus menggambar fisik mereka, entah tukang bajai, kernet, fotografer, ataupun siapa saja yang ingin saya amati. Kedua, saya berjanji pada penulis naskah senior untuk mulai belajar menulis cerita, fabel, fiksi, hingga dongeng. Ketiga, saya ingin menjauh dari kebiasaan nongkrong di kantor ketika senggang, saya harus lebih banyak bertemu orang. Keempat, saya menargetkan untuk segera punya pacar. Siapapun tahu bahwa wanita adalah makhluk yang paling susah dimengerti dan saya harus bisa mempersuasi minimal satu diantaranya, selain itu kos saya juga lumayan bebas untuk urusan menginap antarjenis kelamin.

Seusai pelatihan, managing director mendekati saya, ia menyebut bahwa headline saya selama 6 bulan ini masih tasteless, garing dan sama sekali belum punya soul. Sebagai tambahan, tak lupa ia berujar kepada saya,... there's two types of copywriters, one who just copywriter and one who become great copywriter!
Rupanya keberanian saya untuk menjawabnya hanya bisa sampai di dalam hati saja,... well Sir, I have to be an actor first!

September 29, 2006

Mari Mengejar Mimpi!



Perjalanan mengejar impian adalah pilihan para pejalan sunyi. Mereka yang berusaha setengah mati untuk percaya pada keyakinannya dan Tuhan untuk terus berjalan, ketika hampir semua orang bahkan dirinya sendiri memintanya untuk berhenti. Tapi puncak kesuksesan memang tidak dihuni banyak orang; mereka yang berada di sana juga tidak ada yang luput dari luka, goncangan batin bahkan terasing. Tapi mereka bahagia, karena mengikuti mata hatinya

M. Arief Budiman

September 28, 2006

Menulis dengan Hati



Akhir-akhir ini, saya memiliki sebuah ganjalan yang berkenaan dengan pekerjaan saya. Saya adalah seorang penulis naskah di sebuah agensi iklan. Profesi mengharuskan saya untuk bisa berkomunikasi dengan sasaran konsumen. Saya wajib bicara dengan bahasa target sasaran iklan, secara mendalam, dari hati ke hati. Alangkah senangnya andaikata saya dengan mudah bisa melakukannya. Namun selama hampir 16 bulan menjalani profesi ini, saya masih belum merasa untuk bisa menulis dengan hati. Dapat dikatakan kalau saya benar-benar bingung setengah mati.

Jujur saja, saya sangat menikmati menulis. Bagi saya, menulis merupakan sebuah kenyamanan meski yang saya lakukan cuma sekedar corat-coret huruf. Saya juga lebih memilih berhadapan dengan buku dan kertas serta bolpoin ketimbang memencet papan ketik komputer. Bisa jadi, hal tersebut yang membuat saya selalu nyaman bermain dengan kata, mengkombinasikan kalimat atau mengenal diksi yang jarang digunakan. Saya sungguh mencintai menulis. Meski demikian, sama sekali tidak ada piala yang terpajang di meja belajar saya. Selama pendidikan dasar, saya belum pernah menjadi kampiun pada perlombaan menulis cerpen ataupun merangkai puisi.

Ketika saya mulai mengenal periklanan dan mencoba magang sebagai penulis naskah iklan di sebuah agensi Jakarta sekitar 2 tahun silam, seolah saya merasakan kurangnya antusiasme dalam menulis. Bukan karena saya lantas melihat aktivitas menulis yang dikomoditaskan sebagai pekerjaan, toh saya selama ini berusaha meyakinkan diri bahwa saya tidak bekerja, melainkan berkarya.

Menurut saya, adalah benar apabila iklan lebih dinilai sebagai bentuk komunikasi pemasaran. Iklan tak lagi bisa dipandang sebagai pengejawantahan budaya bujuk rayu semata. Bekerja di agensi periklanan mengartikan bahwa saya harus lebih responsif, sensitif, berwawasan luas dan mulai mengenal jurus-jurus pemasaran. Pendek kata, saya tak boleh idealis, saya harus kompromis! Dulu, saya tak pernah merasa susah untuk membuat cerpen, puisi ataupun ulasan panjang sekalipun. Sekarang saya bisa menghabiskan setengah pak rokok hanya untuk membuat headline iklan atau juga menulis body copy. Membuat kalimat pertama, tak jarang menjadikan saya frustasi.

Tapi saya toh tetap mencintai karya semacam ini. Saya memiliki guru-guru terbaik yang tak lain adalah atasan dan rekan-rekan kerja saya. Memang dibutuhkan waktu cukup lama untuk menampar seorang jawa seperti saya agar bisa belajar lebih cepat. Bagi saya, itu tidak masalah selama saya bisa belajar dan berkembang! Lagipula, kini saya sudah mulai tahu apa penyebab ketidaknyamanan saya dalam menulis selama 16 bulan terakhir ini.

Saya harus bisa menulis dengan hati! Ya! Bahkan sebuah iklan pun menganut kriteria insightfull alias relevan dan menyentuh sasarannya. Dengan hati? Tentu saja! Saya percaya iklan yang paling efektif adalah iklan dengan pendekatan emosi! Lihat saja fenomena virus "I Love You" yang begitu cepat dan dengan mudah menginfeksi surat nirkabel! Hal tersebut menunjukan kepada saya betapa setiap orang merasa tersentuh ketika mereka mendapati kata I Love You dalam surat nirkabel. Tua, muda, pria, wanita, pelajar hingga pekerja, miskin atau kaya... emosi kita tak pernah sulit untuk digerakkan! Jika saya bisa menulis dengan hati, maka saya bisa memenangkan orang lain. Tak peduli apa pekerjaan menulis macam apa yang saya lakukan.

Seorang pengarah kreatif di agensi tempat saya magang dulu pernah menyebut bahwa rahasia menulis dengan hati ialah melalui pemahaman konsumen yang mendalam. Semakin saya bisa mengerti suara terdalam sasaran komunikasi maka saya lebih berpeluang untuk berhasil berkomunikasi dengan mereka. Seolah seperti melamar cinta seorang wanita. Mulai dari jenis merek parfum yang dipakai, warna favorit, hingga jadwal mentruasinya harus dicari tahu. Pun, pengetahuan kita mengenai dirinya merupakan bagian pemahaman yang nantinya sangat membantu untuk menyusun kapan, dimana dan bagaimana "penembakan" dilakukan. Menulis dengan hati adalah how-to-say bukan what-to-say, bahwa kalimat "I Love You" bukan menjadi intinya, melainkan kapan, dimana, dan bagaimana kalimat "I Love You" diungkapkan; bisa verbal bisa tidak.

Salah seorang penulis naskah senior di kantor saya pernah pula berujar kalau menulis dengan hati itu cuma masalah pendekatan komunikasi saja. Ada kalanya yang dibutuhkan hanyalah bicara apa adanya, dengan bahasa target, bisa menjawab brief, dan menunjukkan product sebagai poin utama. Menurutnya menulis dengan hati lebih pada kemampuan kita untuk berempati dengan target dan mendalami produk.
Pada kenyataannya saya masih saja mencari jawaban yang bisa memuaskan. Bisa jadi karena saya belum gigih ketika meramu konsep, komunikasi, maupun eksekusi atau saya belum sanggup mendalami insight target.

Namun seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini,... menulis dengan hati bukanlah hal yang mudah, setidaknya bagi saya. Belajar maupun kerja keras saja tidaklah cukup dan saya tidak akan menyesal jika harus menghabiskan, katakanlah separuh dari masa hidup saya. Mata hati saya meyakini bahwa kelak saya bisa dengan mudah melakukannya. Semoga Tuhan memberkati saya.

September 15, 2006



Selamat malam, para kolega dan rekan sekalian. Maaf mengganggu jadwal kalian, membuat acara mendadak dan memaksa kalian menyetor muka kemari. Malam ini kita sengaja dikumpulkan di sini untuk merayakan beberapa hal: ulang tahun bersama David Bebek, Kelik Broto, dan Alina, serta syukuran kelulusan Juragan Boim, Iko Deddy, dan Ririe Broto. Ini cuma acara kecil-kecilan dan ini juga hanya sekadar omong elek-elekan.

Saya sadar, saya bukan siapa-siapa di sini. Saya cuma bocah kemarin sore, yang kebetulan Tiong Hoa. Akan tetapi, saya terlanjur mengenal dan dikenal oleh kalian, bersama-sama dengan kalian menjadi bagian dari komunitas ini. Pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan beberapa hal tentang kita; tentang komunitas ini. Bukannya mau sok tahu, tetapi saya bermaksud menjadi juru bicara—kalau tidak bisa dianggap penengah—di antara kita semua. Mumpung saya masih bebas konflik. Mbuh mengko, kalau ternyata ada yang tidak senang dengan apa yang akan saya sampaikan berikut ini. Maaf merepotkan.

Banyak hal sudah berubah di antara kita. Enam tahun lebih kita bersama, tentu kita saling merasakan perubahan tersebut. Dahulu masih enak-enak kuliah, sekarang sudah harus mikir omah-omah, atau paling-tidak cunthel ngarang skripsi. Dahulu masih ubyang-ubyung ra jelas, sekarang mesti mikir pemasukan dikurangi pengeluaran, sisanya untuk tabungan. Dahulu suka ramai-ramai, sekarang cukup berdua satu tujuan.... Ada perubahan relasi dan keintiman yang menyertai pertambahan usia kita dan usia pertemanan kita. Harus diakui, ada friksi yang pernah melanda beberapa orang di antara kita. Itu wajar, justru karena kita berteman sudah lama, dan bukan semata-mata bocah kemarin sore seperti saya. Padahal, ini barulah sebuah awal. Setelah ini, masih banyak lagi perubahan yang akan terjadi, for better or worse. Stem-an gitar yang pernah harmonis dahulu, kini harus distel kendho atau malah semakin dikencangkan, berhubung nada dasar yang dipakai kini tidak lagi sama.

Tidak seorang pun dapat mempertahankan status quo. Tidak seorang pun dapat mempertahankan perubahan. Ada kalanya kita mesti menjaga status quo, ada kalanya juga kita mesti berubah. Lihat-lihat tanda zaman saja.

Kak Boim sudah sarjana, lalu mungkin mau meneruskan S2 di perguruan Ganesha di Kota Kembang, mungkin juga akan coba-coba peruntungan di kota lain. Jadi kantor akan ditutup sementara, sampai Boim pulang kembali ke Yogya, siap menikah lah pokoknya. Didik “Wedhus” sudah dipastikan alih profesi, tinggal bagaimana dia ngecakake modal yang disiapkan Boim. David Bebek akhir-akhir ini diserang paranoid, takut bertemu orang lain yang ramai-ramai.

Kelik Broto sudah mulai mapan di Ibukota, setelah meninggalkan Citra Web dan Calista menuju Tamasya. Oca Manis sudah menyusul, ikut perjalanan ke barat, adu nasib cara metropolitan. Ririe Broto baru saja dinyatakan lolos pemilihan untuk dipakaikan toga. Selanjutnya, dia ingin mendalami jurnalistik dan menambah berat badan. Tyo Gendhet, yang sudah berkelebihan berat badan, malah banting setir dari Program Director RBTV menjadi peraga iklan Togamas, sekarang malah mau mencoba menjadi barista Rumah Kopi, mengumpulkan modal untuk menjadi juragan angkringan dan kursus memasak. Pak PS sudah naik pangkat, setelah meniti karier sekian lama, dari kamerawan sekarang menjadi salah satu tim multimedia Butet Kartaredjasa.

Giras semakin mantap di dunia sinema setelah sempat menjadi kacung Garin Nugroho ketika menggarap Opera Jawa. Mareta juga sudah mapan menjadi Njonja Tanah, menjual kavling-kavling kamar untuk Kartini-Kartini muda yang dituntut ilmu di Kota Pelajar ini. Nanox sudah beberapa lama pindah kampus, tetapi naik jenjang menjadi S2. Iko Deddy juga sudah sarjana, tetapi sepertinya masih belum merencanakan apa-apa. Banik masih menyibukkan diri berkarya bersama Kalasan Multimedia. Arin sedang agak bingung, bisnis garmennya sepi order. Padahal, Doelindo masih rindu order, walau kemelut yang dihadapi sekarang sudah berbeda dari yang usahanya yang terdahulu. Jericho sudah kangen panggung, tinggal menunggu skenario yang pas, maka bersinarlah kembali dia di dunia akting. Sementara itu, Jordana harus memendam bakatnya yang adiluhung karena mesti berkonsentrasi terhadap studinya.

Ada pula sekelumit kisah yang melibatkan trio Nobi–Elga–Christa. Ria Kriwil. Iwan Effendi. Tekek. Alina. Mitul. Iput. Noel. Wahyu. Berto. Kowoek. Ceper. Agung Kociro. Komeng. Tonton. Shinta. Agnes. Ya semua saja lah yang ada di milis ini. Semua saling mencoba-coba peruntungan dan bukan tidak mungkin kita juga saling merepotkan. Harus disadari, saling mengisi juga secara logis pasti berarti saling menggerogoti. Perkaranya tinggal yang mana yang dominan dan bagaimana pihak yang bersangkutan bisa meredam konflik, supaya genderang perang tidak perlu sampai ditabuh. Kalau pun sudah terlanjur ada kekeluan lidah untuk saling bicara, maka anggaplah teori perdamaian tadi dipelintir sedikit menjadi semacam gencatan senjata dan rekonsiliasi. Hisaplah cerutu perdamaian!

Kotasis adalah kita: Komunitas Taman Siswa, pindahan dari rumah tante di Jl. Taman Siswa MG II/1265 A. Kotasis Kamar Desain berawal dari Kak Boim dan Koh Bebek yang butuh penyaluran minat dan bakat. Ndilalah, kok, cukup menghasilkan, sehingga bisa sampai seperti sekarang ini. Komunitas tetap dipertahankan supaya guyub, demi sebuah pertemanan. Karena KITA BERTEMAN SUDAH LAMA. Cukup lama meski untuk sekadar kembali berkumpul, nostalgia zaman lawasan, ketika Benyamin masih bisa roman-romanan dengan Ida Royani. Jolali..., karena setelah ini kita mungkin tidak akan bertemu lagi sampai nanti, sampai Letto tidak terkenal lagi. Maka dari itu, lepaskanlah sejenak riasan dan atribut kita, tinggalkanlah sejenak kehidupan pribadi kita, kita kenang kembali masa-masa ketika kita masih lebih muda dua atau tiga tahun, masih sering berandrawinan dengan kawan-kawan, masih bisa tertawa dengan tulus kepada sesama sobat.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, “kita berteman sudah lama” tadi apakah sudah menjadi landasan semangat pertemanan kita atau memang tidak lebih dari sekadar slogan. Poin penting dari kalimat pendek tersebut bukan pada jangka waktu pertemanan kita, sebagaimana tampak secara eksplisit, melainkan justru pada makna implisit kalimat tersebut, yaitu sungguhkah kita sudah mengenal orang yang kita panggil “teman” itu, setelah sekian lama kita berteman. Apakah kita tahu mengapa dia tiba-tiba bersikap seperti demikian pada kondisi yang demikian. Apakah kita tahu, bahwa si dia bukan tipe orang yang demikian, hanya saja dia pasti akan demikian jika kita bersikap demikian terhadap dia terlebih dahulu. Sebagai teman, apa pantas kita bersikap seperti demikian terhadap dia. Begini nih nih nih. Begitu tuh tuh tuh.

Cobalah berpikir lagi. Apakah makna teman? Apakah pula makna pertemanan kita selama ini? Kita ini teman yang baik atau bukan? Itu dia!
Oleh sebab itu, kita sampai kepada pertanyaan, “NEK URIPMU GAREK SESUK, NJUR KOWE AREP NGAPA?” (“JIKA HIDUPMU TINGGAL BESOK, LALU KAMU MAU APA?”)

Akankah konflik itu dibiarkan berlarut-larut sehingga kita mati tidak tenang? Akankah pencarian jati diri itu terhenti tanpa konklusi? Akankah masalah hidup itu dibiarkan merong-rong peri kehidupan kita, padahal kita belum sempat bernafas lega? Akankah rezeki tetap dicari, padahal kita belum sempat berfoya-foya menghamburkannya? Atau akankah kita berhenti mengayunkan langkah, lantas melihat kembali ke belakang, menilai diri kita sendiri, sebetulnya selama ini saya ngapain saja sih? Itu dia!

Renungan yang dibacakan pada pertemuan Now or Never di Kotasis pada 4 September 2006 lalu ini ditulis oleh Budi N.D. Dharmawan

September 06, 2006

Lebih Baik Kita Temenan Aja!



Saya percaya kalimat tersebut dibenci 7 dari 10 remaja laki-laki di Indonesia. Meski demikian kalimat di atas masih merupakan asumsi penilaian saya saja dan bukan menjadi sebuah pernyataan yang diperoleh lewat jejak pendapat. Tapi saya cukup yakin seandainya dibuat sebuah riset untuk membuktikan keabsahannya, pastilah hasilnya juga tidak jauh beda.

Begini ceritanya, beberapa hari yang lalu saya pulang ke Jogja dan mengunjungi kolega lama yang kebetulan tinggal dalam satu kontrakan. Kami sempat bercanda soal beberapa wacana iklan yang mengangkat perbandingan secara kuantitas untuk mengkomunikasikan produknya. Sebuah produk pembalut wanita semisal, telah mengklaim bahwa 7 dari 10 wanita mengkonsumsi produknya. Setelah itu diantara kami terlontar beberapa gurauan perbandingan, salah satunya saya yang menerka soal kalimat favorit kaum hawa untuk mengakhiri todongan asmara dari sang penembak! Waktu itu kedua kolega tersebut sontak berteriak "soriiii, kita temenan aja!".

AHA! Menurut saya, kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! kemungkinan telah menjadi insight bagi mereka yang pernah ditolak! Biasanya kalimat penolakan tersebut juga diikuti kalimat lain sebagai penjelas! Disini adanya kalimat penjelas setelah kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! menunjukkan susunan kalimat penolakan biasanya adalah kalimat induksi! Dimana konklusi terletak di awal mendahului penjelasan. Jika sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! menjadi umum untuk digunakan, kalimat penjelas biasanya lebih beragam. Mulai dari "kamu kan udah aku anggep sahabat", "kayaknya kita lebih cocok jadi adek kakak", atau "aku belum kepikiran soal pacaran, kan kita masih sekolah!"

Saya sendiri pernah mendapat alasan yang menurut saya luar biasa tidak masuk diakal,.. "sori yo tapi bulan depan aku kayaknya mau dikirim ke singapura buat disekolahin sama ortu". Benar-benar bukan alasan yang pintar karena sebulan setelah penolakan itu saya masih bertemu dengannya di bangku kuliah hingga 4 tahun sesudahnya. Menurut saya, kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! seolah menjadi tidak menyentuh. Mungkin karena terlalu banyak dipakai oleh wanita sebagai pamungkas untuk menolak. Andai saja wanita mencoba untuk menggali lebih banyak, mungkin bisa banyak kalimat penolakan yang lebih halus.

Misalnya begini, nama Anda adalah Dicky dan Anda baru saja menyatakan cinta pada gadis yang dicintai tapi ini yang diucapkannya; "Dicky! Aku benar-benar tidak menyangka kamu senekat ini! Meminta aku untuk jadi pacarmu cuma bisa jadi impianku! Aku nggak mau kamu menyakiti dirimu sendiri dengan mengecewakanmu! Di keluargaku ada keturunan penyakit jantung dan stroke! Aku nggak mau kalo hubungan asmara kita yang nantinya berbuah pernikahan di kemudian hari membuat anak kita berpotensi mengalami gagal jantung! Sori Dick, tapi kamu menyakiti hatiku karena telah mencintaiku!"

Coba bandingkan jika Anda cuma mendengar sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! lagipula selama perasaanku ini ke kamu biasa aja! Demi Tuhan, saya yakin Anda ingin membakarnya hidup-hidup saat itu juga! Tulisan ini bukan saya buat hanya atas dasar emosi saja. Saya juga tidak ditolak belakangan ini. Saya cuma ingin mendorong para wanita untuk lebih kreatif lagi dalam mengolah kalimat penolakan, setidaknya menyiapkan 3 alternatif atau membuat case studies terlebih dahulu. Menghubungi agensi kreatif atau penulis naskah lepasan juga sangat dianjurkan. Paling tidak dengan lebih halus dan kreatif dalam menolak, si pria tidak pulang dengan wajah memelas dan hati hampa, minimal mereka tidak mabuk-mabukan pada malam sesudah penolakan.
Negeri dibalik Pelangi



The Wizard of Oz adalah cerita klasik yang menjadi salah satu favorit saya. Kisah tentang Dorothy dan anjingnya Toto yang terdampar di negeri Oz, sedikit banyak telah memberikan gambaran kepada saya tentang pencarian untuk sebuah tujuan hidup.
Cerita bermula dari tanah pertanian Kansas dimana Dorothy dan Toto yang tiba-tiba terjebak beliung, kemudian berada di sebuah negeri dibalik pelangi. Dalam perjalanannya untuk menemukan arah pulang menuju rumah, mereka bertemu The Scarecrow si bijak penuh keluguan yang ingin untuk menjadi manusia, Tinman sang penebang kayu dengan impiannya untuk memiliki sebuah hati, dan Lion, singa pengecut yang mendambakan keberanian.

Bersama-sama, mereka menyusuri jalanan yang terbuat dari bata berwarna kuning, menuju Kota Emerald dan menemui penyihir agung Oz, satu-satunya harapan bagi Dorothy untuk kembali ke Kansas. Tak sekedar menolong Dorothy, Scarecrow, TinMan, dan Lion juga berharap bertemu sang penyihir agung agar masing-masing impiannya dapat dikabulkan. Namun seperti halnya kehidupan, segala sesuatunya tidak selalu bisa dicapai dengan gampang, sebuah keinginan kadang memerlukan keberanian sekaligus perjuangan. Dikisahkan Dorothy dan kawan-kawan yang harus berhadapan dengan penyihir jahat dari Barat sebelum bertemu dengan penyihir agung Oz.

Ketika sampai pada akhir cerita, penyihir agung Oz mengembalikan Dorothy dan anjingnya Toto ke Kansas. Namun penyihir agung Oz hanya menggelengkan kepala ketika Scarecrow, TinMan, dan Lion meminta hal yang sama yakni agar impian masing-masing bisa terkabul. "Buat apa aku mengabulkan permintaan yang sudah terpenuhi?" tanya penyihir agung Oz. Sebenarnya yang dimaksudkan penyihir agung Oz adalah bahwa Scarecrow, TinMan, dan Lion sudah memiliki apa yang sebenarnya mereka cari. Scarecrow yang memiliki kepedulian untuk membantu Dorothy dan Toto telah memperlihatkan sosok manusiawi dengan jiwa penolong. TinMan yang bercita-cita memiliki hati juga sudah menunjukkan belas kasih dan berpihak pada kebaikan. Sedangkan Lion dengan berani telah menghalau anak buah penyihir jahat dari Barat untuk melindungi Dorothy dan membuktikan bahwa ia bukan makluk pengecut!

Terkadang cerita tersebut selalu muncul di benak saya ketika saya memiliki keinginan. Pernah suatu hari saya berandai-andai untuk bisa menjadi seorang pengarah kreatif di sebuah agensi dengan billing pemasukan besar, rak penuh penghargaan kreativitas, dan memiliki penghasilan yang bisa membuat saya memiliki sebuah rumah Jogjo di Sawojajar 5 Jogjakarta. Bisa jadi akan seperti itulah saya di kemudian hari nanti. Mungkin saja setumpuk pekerjaan, omelan, kritikan, dan revisi ataupun rasa sakit karena penolakan klien serta atasan adalan jalanan bata berwarna kuning bagi saya untuk menuju kota Emerald. Hal tersebut selalu membuat saya tak perlu berpikir soal seberapa lama atau sebanyak apa penderitaan yang akan saya terima. Toh, saya juga seorang jawa yang takkan pernah bisa melepaskan diri dari kutukan kepasrahan. Saya hanya harus berusaha sebaik dan secepat mungkin,.. and that's the bottom line!


Seekor elang terjatuh dari sarangnya yang terletak di puncak tebing tinggi. Ia terjatuh pada sebuah peternakan ayam di bawahnya. Hingga ia beranjak remaja ia berkumpul bersama ayam dan tidak bisa terbang karena ia tak pernah lagi mengepakkan sayap dan juga merasa dirinya sebagai ayam. Suatu hari, terbanglah elang besar diatas peternakan. Sambil terkagum, elang ayam tersebut berujar "andai aku menjadi elang, pastilah aku bisa mengangkasa segagah dia".

Elang besar tersebut mendengarnya dan kemudian ia mendarat tepat di hadapan elang ayam. "Alangkah bodohnya dirimu, kau adalah elang, belajarlah mengepakkan sayapmu untuk bisa terbang" sahut elang besar yang kemudian kembali menangkasa. Hingga di akhir hidupnya, elang ayam tersebut tak pernah mencoba mengepakkan sayap, ia tak menyadari bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk bisa gagah melayang. Ia mengakhiri hidupnya sebagai seekor ayam.

diambil dari Awareness - Anthony de Melo

August 25, 2006

tuhan DI PERSIMPANGAN


Berselang tiga minggu setelah dilahirkan, saya dibawa ke gereja untuk diurapi dengan air suci, tanda sakramen pembabtisan katolik. Saya mendapat nama babtis Albertus yang kurang lebih berarti "agung dan cemerlang". Sebagian besar keluarga baik dari ayah dan ibu saya hadir di acara tersebut, menyaksikan saya dilantik menjadi seorang katolik di gereja Santo Fransiscus Xaverius Kidul Loji Jogjakarta. Sejak itu saya dibesarkan untuk menjadi seorang jawa katolik. Sekolah minggu, gereja mingguan, paduan suara anak, hingga retret rohani tak pernah bergeser dari jadwal masa kanak-kanak saya. Usia 9 tahun saya kembali mengikuti pendidikan agama katolik untuk penerimaan sakramen komuni. Saya kurang tahu maksud sakramen ini kecuali bahwa saya bisa ikut mendapat hosti ketika perayaan misa. Setelah itu saya dipaksa orang tua dan pembimbing agama katolik di lingkungan saya untuk mendaftar menjadi misdinar atau seorang pelayan altar di gereja selama perayaan misa.

Berlanjut ke kelas 1 SMA, saya menempuh pendidikan agama katolik lagi, kali ini untuk krisma, sakramen penguatan iman katolik. Pendidikan krisma yang kurang lebih berlangsung satu tahun ini cukup terasa menyenangkan. Bukan karena materi yang dibawakan namun karena dalam satu kelas yang berisi 20 orang hanya terdapat 2 anak laki-laki, saya dan seorang kawan bernama Dimas; lainnya adalah siswi-siswi perempuan SMA Santa Maria Jogjakarta. Jika selama ini Anda hanya bisa memimpikan untuk berada seruangan dengan belasan gadis-gadis SMU, selalu digoda dan selalu punya kesempatan untuk main colek sana sini, maka saya sudah bisa mewujudkannya saat itu. Setelah pendidikan krisma, saya berhenti dari susunan putera altar. Saat itu saya diajak seorang teman untuk bergabung dengan organisasi muda-mudi katolik gereja tapi saat itu saya sedang memiliki hobi baru yakni PlayStation jadi saya memilih untuk menolaknya. Lagipula saya juga tahu kalau perkumpulan tersebut kurang bisa berkembang .

Mulai saat itu saya jarang ke gereja, saya ingin mendiamkan Tuhan untuk sementara waktu. Ada beberapa keputusan Tuhan yang menurut saya tidak adil sehingga entah kenapa saya mulai berpikir untuk membalasnya. Saat itu saya duduk di bangku SMA dan selalu mendapat nilai buruk untuk semua mata pelajaran eksakta. Ketakutan tidak lulus memaksa saya untuk mengais campur tangan Tuhan. Selama hampir 365 hari sepanjang tahun terakhir saya di De Britto, saya selalu mengikuti misa pagi yang berlangsung setengah jam. Beruntunglah saya, semua siswi SMA Santa Maria Jogjakarta yang tinggal di asrama diwajibkan untuk mengikuti misa pagi di gereja yang sama.

Begitu lulus saya kembali melupakan Tuhan, setidaknya hingga saya merasa kesulitan mencari pacar. Namun kali ini bukan doa pagi, saya lebih memilih berkunjung ke Sendang Jatiningsih, berdoa langsung ke Bunda Maria ibu Yesus. Tetap saja, saya belum bisa menggandeng seorang pendamping di saat hari wisuda.
Tapi saat itu saya sudah berkarya di sebuah biro iklan daerah, di sana setiap pagi selalu diadakan acara doa bersama. Selama satu jam kami duduk berdoa, membaca renungan pagi dan alkitab sambil berdiskusi dalam kerangka rohani kristiani. Acara doa ini merupakan kewajiban dimana karyawan yang tidak hadir selama tiga kali berurutan biasanya disuruh menghadap HRD.

Sekarang saya berkarya di Jakarta dan tak seorangpun yang akan mengingatkan saya soal berdoa apalagi ikut misa di gereja. Saya lebih bebas untuk menghukum Tuhan karena belum memberikan tanda-tanda jelas tentang jodoh saya. Namun entah mengapa saya justru semakin terpanggil untuk ikut misa mingguan, sembhayang novena di kamar, atau sekedar berdoa kecil di dalam hati. Pernah pula saya sedemikan takut pada keberhasilan pekerjaan yang saya lakukan hingga saya pernah seminggu penuh mengikuti misa pagi gereja Santo Yohanes Pembabtis di daerah Barito Jakarta Selatan.
Jika saat ini saya masih berdoa atau mengingat Tuhan, bisa jadi itu karena masih banyak kekhawatiran saya yang belum teratasi, bahwa saya sedemikian takut untuk melalui jalan hidup ini seorang diri tanpa sosok yang akrab dengan saya sedari kecil dulu, sosok yang seakan menjadi satu-satunya sahabat di dalam keputusasaan saya, seorang sosok bernama Tuhan.

August 24, 2006

The Business of Creating Monster



"what ya' gonna do brother? when the Hulkamania run wild on ya'" teriak Hulk Hogan sambil merobek kaos warna kuning bertuliskan Still Runnin' Wild sembari disambut sorak riuh Hulkamania dan ribuan penggemar gulat lainnya di The Palace of Auburn Hills, Detroit 2004 silam. Pada gelaran bertajuk Unforgiven tersebut, dipertandingkan juga The Duddley Boys (Bubba Ray & Devon) yang tampil melawan Edge & Christian untuk memperebutan Tag Team Champion. The Rock, Stone Cold Steve Austin, Big Show, Kurt Angle, ataupun Undertaker juga tampil untuk saling beradu di atas ring.

Sudah puluhan kali kawan-kawan saya mengometari kebiasaan saya menonton gulat World Wrestling Federation di salah satu televisi swasta. Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa adegan tersebut hanya tipuan semata namun apa mau dikata, toh saya tetap menikmati hiburan adu kekerasan semacam itu. Menyimak dokumentasi kisah nyata tentang kehidupan para pegulat Amerika di film Beyond the Mat, membuat saya tahu bahwa gulat profesional WWE, ECW, WCW ataupun NWO bukan sekedar acara bohong-bohongan belaka. Di film itu dipertontonkan bagaimana Mick Foley The Mankind harus mendapat jahitan di kepala di ruang ganti pemain, di depan 3 anak dan istrinya seusai Cage Match melawan Tripple H.

Dari film tersebut saya juga tahu bahwa sebagai sport entertainment, gulat Amerika tetap melibatkan resiko-resiko berbahaya meski segala sesuatunya telah diperhitungkan. Sepatu berlapis spons, pukulan pura-pura, senjata palsu, hingga kanvas ring extra empuk bukan jaminan bahwa sang pegulat tidak akan mendapat memar, jahitan ataupun operasi. Pendek kata, saya sebenarnya lebih tertarik dengan kampanye komunikasi yang dilakukan oleh keluarga McMahon dalam mengelola sebuah bisnis hiburan bernama WWE. Betapa setiap pegulat yang ditampilkan di atas ring dan saling beradu darah tak hanya bermodal balsem dan pengalaman berkelahi ala preman. Pegulat juga didukung oleh konsep, komunikasi, dan eksekusi yang matang. Tiap pegulat seakan memiliki karakter, sambutan khas, kostum, nama jurus, bahkan gaya bicara tersendiri. Ini merupakan sebuah situasi nyata yang selalu mengingatkan saya tentang arti penting sebuah unique selling proposition.

WWE selalu bertabur bintang dan jagoan gulat yang secara tehnik berkelahi selalu bersaing namun hanya satu dua saja yang selama sekian waktu bisa bertahan di urutan pertama pay-per-view. Kurt Angle dengan karakter pegulat ex-juara olimpeade yang sombong dan gemar memakai kaos bertuliskan Freedom of Choice; Tap Out or Angle Slam, merujuk pada jurus bantingan Angle Slam yang menjadi pamungkasnya. Ada juga Dwayne Johnson yang dikenal dengan nama The Rock, sosok pegulat yang mendapat julukan People's Champ dan selalu melakukan The Rock Bottom untuk merubuhkan lawan sebelum ia melancarkan jurus pamungkas The People's Elbow. Tapi favorit saya adalah seorang pegulat Kanada bernama Chris Benoit. Dengan gigi depan yang ompong atas bawah, ia dijuluki Rabbit Wolverine dan disebut pula Toothless Agression. Chris Benoit ini tipe petarung submission alias pegulat yang ahli dengan jurus kuncian. Meski mengandalkan Crippler Crossface sebagai pamungkas, Chris Benoit akrab dengan jurus bantingan seperti multiple back drop ataupun jurus aero seperti diving headbutt sebelum mengunci lawan.

Jujur saja, saya menghabiskan banyak waktu luang dengan menonton gulat WWE di televisi, piringan data film hingga bermain playstation gulat. Saya betul-betul jatuh hati pada kemampuan Vince McMahon sebagai presiden WWE untuk mengelola olahraga hiburan ini dengan serius. Menang kalah, pemenang atau pecundang, karakter jahat atau baik, slogan tiap pegulat, hingga nama jurus andalan adalah bagian dari skenario pemasaran yang diusung Vince McMahon. Menurut saya, Vince McMahon adalah seorang konsultan pemasaran jenius. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk persepsi pegulat sebagai brand di benak penggemarnya. Vince McMahon bisa membuat The Rock dielu-elukan sebagai People Champ semudah membuat Kurt Angle untuk dimunculkan sebagai pegulat oportunis dan pengecut.

Vince McMahon juga berhasil membuat WWE selalu kaya dengan superstar baru. Ia tahu kapan harus mengangkat dan meneggelamkan brand-brand bernama Stone Cold, Rey Mysterio, Hulk Hogan, The Rock, maupun Randy Orton. Vince McMahon juga berhasil membuat WWE untuk selalu segar dengan format pertandingan baru. Royal Rumble, King of the Ring, Tripple Treat Match, Ladder Match, Women's MudWrestling hingga Punjabi Cage Match tak hanya digelar di Amerika. Inilah yang membedakan gulat sebagai hanya sekedar olahraga dan olahraga hiburan. Bahwa tujuan akhir bukan prestasi kemenangan yang diraih seorang pegulat dalam sebuah kompetisi namun prestasi untuk terus mencetak persepsi gulat sebagai the greatest sport entertainment on earth

"some people said they're the great entertainers on earth, flying without wings, body has no limitation. yes this is an entertainment but the hazard is real; neck broken, bodies been bruished, carrier ended in instanly. no matter who you are, no matter where you from, please don't try this at home"

August 15, 2006

Keretaku Tak Berhenti Lama



Penyesalan selalu terulang setiap kali harus balik menuju Jogja dengan kereta ekonomi. Penyesalan karena telah melakukan kesalahan yang sama. Penyesalan karena kembali harus mengalami kereta yang telat hingga 2 jam, ikut rebutan tempat duduk, menunggu lokomotif yang melulu mati hingga kereta yang selalu berhenti di setiap stasiun kecil. Buat pekerja pemula seperti saya, kereta api ekonomi menjadi salah satu angkutan paling rasional untuk mudik maupun balik. Paling rasional mengingat tiket seharga 38ribu perak sekali jalan lebih murah ketimbang kelas bisnis 100ribu tapi tidak menawarkan perbedaan jauh dari segi fasilitas. Bisa lebih murah lagi menjadi 15ribu jika bergabung bersama komuter Kulonprogo di gerbong 4 atau 10 .

Tetap saja, pada akhirnya tiket murah menjadi sangat tidak sebanding jika harus berdesakan berdiri di lorong atau pojok gerbong. Akan tetapi dibalik semua penyesalan tersebut, muncul banyak peristiwa yang cukup menarik untuk disimak selama stasiun senen - lempuyangan. Mulai dari kegigihan pedagang di tiap stasiun transit yang tak kenal menyerah untuk menembus barikade desakan penumpang hingga kerja keras para penumpang gelap yang harus mati-matian menawarkan aroma urine WC gerbong dengan kepulan kretek selama perjalanan.

Pun, potret mengharukan tergambar di wajah pasangan bapak ibu yang memilih duduk di lantai agar sang anak bisa nyaman tidur di kursi ataupun romantika sederhana dari sepasang muda-mudi yang duduk berdampingan. Seolah sedang bersimulasi merasakan kerasnya kehidupan di tengah himpitan kemelaratan. Namun segalanya seakan memudar seiring kereta memasuki daerah Sentolo. Tak sabar saya ingin segera pulang dan disambut kibasan 3 anjing kampung sembari menikmati brongkos buatan ibu. Semoga libur besok, keretaku tak berhenti lama.
Kalo Tuhan Murah Hati,
Lantas Mengapa Kamu Masih Sendiri?















jangan dulu lelah
jangan dulu patah
jangan dulu menyerah

selalu ada cinta di ujung jalan
menanti untuk ditemukan

bagi siapa saja,
yang tidak pernah kehilangan harapan,
bagi siapa saja,
yang mencoba untuk bertahan


diambil dari novel jessica huwae, halaman 59