October 28, 2006

I Am an Actor



Boleh dibilang, kali ini adalah sekuel atau lanjutan dari artikel Menulis dengan Hati yang saya posting beberapa minggu lalu. Saya ingin bercerita soal tambahan ilmu yang saya peroleh kira-kira seminggu lalu. Begini, di agensi iklan tempat saya bekerja sedang dilakukan pelatihan untuk departemen kreatif, tentu saja saya yang masih berstatus penulis naskah junior tidak akan melewatkan kesempatan belajar ini. Mengingat juga bahwa training tersebut dibimbing langsung oleh managing director yang selama ini memiliki standar dan kecakapan kreatif yang amatlah tinggi. Pada sesi training kedua yang kurang lebih berlangsung 2 jam tersebut, saya belajar sebuah hal baru yang menurut saya, potensial membantu keinginan untuk bisa menulis naskah iklan dengan hati.

BE AN ACTOR! Always be adaptable to play and switch your role! Always stand in your consumer's shoes! So you'll understand about what they want, when they need, where they were, why they buy and how they talk, because they are you!
AHA!! Menurut saya ini adalah sebuah kunci baru yang bisa jadi cocok untuk membuka kotak Pandora tentang bagaimana untuk menjadi seorang penulis naskah yang baik, dia yang bisa menulis dengan kesungguhan hati dan kemampuan menyentuh kedalaman keinginan konsumen.

Be an Actor,... mmh tidak sesulit kelihatannya, ketika menangani klien dengan produk anak-anak ini tak jadi soal. Saya juga pernah menjadi seorang kanak-kanak dan menjadi kekanak-kanakan juga tidak susah untuk saya lakukan. Be an actor,... oke! saya bisa jadi seorang sopir truk ketika mengerjakan account untuk sebuah kendaraan truk, saya seorang jawa dan memiliki pakde seorang pengemudi kontainer, saya cukup familiar dengan omongan para pengendara 6 roda. Be an actor,... sama sekali bukan masalah besar.

Oops saya lupa! saya ikut bertanggung jawab untuk komunikasi pemasaran sebuah dept. store yang selama ini lebih banyak menjual busana wanita, mulai dari lingerie sampai aksesori, from head to toe. Saya juga harus mengerjakan kampanye komunikasi untuk sebuah pengembang perumahan, dengan konsumen utama keluarga. Pernah juga saya mendapat brand untuk produk pembalut wanita, apartemen seharga 3 milyar, ataupun city-car untuk sasaran utama yakni para anak manja yang melulu hanya bisa menengadahkan tangan kepada orang tua.

Jika menjadi aktor adalah menjiwai sosok karakter target sasaran komunikasi maka menurut saya ini adalah gampang-gampang susah. Bagaimana saya bisa menokohkan diri ketika selama ini saya jauh dari peran-peran tersebut? Bagaimana saya bisa mengkomunikasikan produk wanita jika pada kenyataannya saya masih belum bisa menipu satu cewek semasa kuliah dan SMA?
Bagaimana mungkin saya menyampaikan pesan utama bahwa Anda harus memiliki mobil dengan standar keamanan bintang empat Eropa kalau sepeda motor yang saya kendarai hanya mengandalkan rem belakang?

Be an Actor? Mungkin selama 16 bulan ini saya lebih banyak duduk di belakang meja dan bukannya berdiri di atas pemahaman konsumen. Mungkin juga saya keseringan membuka situs riset dan Wikipedia ketimbang ngobrol bareng sasaran utama. Mungkin saya melupakan tugas utama saya sebagai penulis yang harus lebih bisa melihat apa yang tidak terlihat. Jelas sudah, saya harus belajar menjadi aktor! Saya HARUS bisa menokohkan diri agar tulisan saya memiliki jiwa.

Dan saya pun datang dengan berbagai rencana! Membeli buku sket adalah yang pertama. Saya memiliki target untuk meneliti karakter profesi masyarakat Jakarta. Dengan buku sket saya bisa mendeskripsikan sekaligus menggambar fisik mereka, entah tukang bajai, kernet, fotografer, ataupun siapa saja yang ingin saya amati. Kedua, saya berjanji pada penulis naskah senior untuk mulai belajar menulis cerita, fabel, fiksi, hingga dongeng. Ketiga, saya ingin menjauh dari kebiasaan nongkrong di kantor ketika senggang, saya harus lebih banyak bertemu orang. Keempat, saya menargetkan untuk segera punya pacar. Siapapun tahu bahwa wanita adalah makhluk yang paling susah dimengerti dan saya harus bisa mempersuasi minimal satu diantaranya, selain itu kos saya juga lumayan bebas untuk urusan menginap antarjenis kelamin.

Seusai pelatihan, managing director mendekati saya, ia menyebut bahwa headline saya selama 6 bulan ini masih tasteless, garing dan sama sekali belum punya soul. Sebagai tambahan, tak lupa ia berujar kepada saya,... there's two types of copywriters, one who just copywriter and one who become great copywriter!
Rupanya keberanian saya untuk menjawabnya hanya bisa sampai di dalam hati saja,... well Sir, I have to be an actor first!