December 13, 2006

Saya Tidak Mau Bekerja di Agensi Iklan!



Selama 8 bulan disini saya acapkali mendengar kata Brand. Mulai dari nama kantor yang menggunakan embel-embel Brand Consultant, terus masih ada Brand Building, sebuah creative training yang diadakan di kantor , ada juga BrandCab untuk menyebut blanko brief yang biasa dipakai, brand positioning, branding, brand manager, brand development. Singkatnya istilah Brand rasanya tidak akan jauh-jauh dari keseharian saya selama ini.

Dalam Brand Building Training beberapa minggu lalu, Managing Director saya menyebut bahwa brand bukan sekedar terminologi untuk penaman produk alias merek semata.
Brand adalah suatu makhluk hidup dengan karakter layaknya manusia yang kelangsungan hidupnya bergantung pada kekuatan serta visi yang dimilikinya. Brand bukanlah label Coca Cola yang tertera pada kemasan minuman soda melainkan nama yang akan selalu muncul dalam benak ketika haus pada kerongkongan muncul. Brand juga bukan sebatas logo pada kendaraan Honda Jazz namun sebuah nama yang keluar ketika sebuah pertanyaan mengenai city-car favorit terlontar pada seorang anak muda. Brand adalah nyawa dari sebuah produk yang hidup dalam benak kita dan akan selalu menunggu untuk muncul terlebih ketika kita berada dalam situasi melakukan transaksi.

Lebih lanjut, brand terkait dengan banyak hal. Mulai dari logo, kemasan, asosiasi pemikiran, kedekatan emosi, konsumen, harga, pasar, komunikasi iklan dan produk itu sendiri. Semua hal tersebut akan mempengaruhi persepsi kita terhadap sebuah brand. Sebuah contoh sederhana semisal, Mount Blanc dengan Pilot tidak akan jauh berbeda jika dilihat dari nilai fungsi yang dimiliki yakni sebagai sebuah pena. Namun pengetahuan kita tentang nilai ekslusif Mount Blanc, informasi tentang kualitas material dan proses pembuatannya, serta labelisasi harga yang jauh dari sekedar pena biasa telah mendorong persepsi kita untuk menilai Mount Blanc sebagai produk pena berstandar tinggi dan masuk akal apabila memiliki nilai nominal hingga jutaan rupiah sekalipun. Pengetahuan, informasi antar personal, pemahaman pribadi hingga doktrinasi jelas akan berpengaruh. Dalam hal ini segala bentuk maupun aktivitas komunikasi akan sangat bernilai signifikan bagi sebuah brand.

Bergincu pada peranannya sebagai instrumen komunikasi tersebut, seharusnya iklan tidak hanya menjadi sekedar TV commercial, print-ad, radio-spot maupun banner. Sebuah iklan harus mampu menjadi bagian dari usaha dalam menciptakan dan menghidupkan visi brand untuk menjadi sebuah karakter. Karena dengan memiliki karakter itulah, sebuah brand bisa membedakan diri dari berjuta produk pesaing meski sama-sama memiliki unique selling proposition yang relatif tidak jauh berbeda. Saya percaya bahwa diantara sekian banyak makanan Waffer, kita hanya bisa menyebutkan
beberapa merek saja. Dari sekian banyak balsem, mungkin hanya sekian merek saja yang kita kenal dan dengar. Inilah kekuatan sebuah brand, dan inilah yang selama ini harus menjadi arah pandang maupun berpikir saya. Saya tidak bekerja di sebuah agensi iklan dan saya tidak membuat iklan. Saya adalah seorang brand consultant dan saya berkarya dengan menciptakan visi brand agar bisa hidup, berkarakter dan berkembang.

Di sini wawasan pengetahuan dan sensitivitas adalah luar biasa dibutuhkan. Bahwa saya harus bisa menggali pengetahuan mengenai brand setiap detilnya dan memahami keinginan terdalam konsumen. Sehingga pada akhirnya saya tidak hanya akan mendapatkan what-to-say dan how-to-say dalam sebuah kerangka komunikasi massa saja. Namun bisa menemukan momentum yang tepat bagi sebuah kegiatan komunikasi. Momentum dimana sebuah brand yang ditampilkan pada layar televisi, lintas nirkabel, suratkabar, maupun radio tidak dapat dikalahkan oleh tombol remote dan diganti salurannya. Momentum dimana sebuah brand akan berbicara dan orang akan mendengar, melihat, serta mempercayainya. Momentum yang hanya akan saya dapatkan jika berkarya sebagai Brand Consultant dan bukan di agensi iklan. Suatu hari nanti, saya akan menemukannya.

No comments: