September 29, 2006

Mari Mengejar Mimpi!



Perjalanan mengejar impian adalah pilihan para pejalan sunyi. Mereka yang berusaha setengah mati untuk percaya pada keyakinannya dan Tuhan untuk terus berjalan, ketika hampir semua orang bahkan dirinya sendiri memintanya untuk berhenti. Tapi puncak kesuksesan memang tidak dihuni banyak orang; mereka yang berada di sana juga tidak ada yang luput dari luka, goncangan batin bahkan terasing. Tapi mereka bahagia, karena mengikuti mata hatinya

M. Arief Budiman

September 28, 2006

Menulis dengan Hati



Akhir-akhir ini, saya memiliki sebuah ganjalan yang berkenaan dengan pekerjaan saya. Saya adalah seorang penulis naskah di sebuah agensi iklan. Profesi mengharuskan saya untuk bisa berkomunikasi dengan sasaran konsumen. Saya wajib bicara dengan bahasa target sasaran iklan, secara mendalam, dari hati ke hati. Alangkah senangnya andaikata saya dengan mudah bisa melakukannya. Namun selama hampir 16 bulan menjalani profesi ini, saya masih belum merasa untuk bisa menulis dengan hati. Dapat dikatakan kalau saya benar-benar bingung setengah mati.

Jujur saja, saya sangat menikmati menulis. Bagi saya, menulis merupakan sebuah kenyamanan meski yang saya lakukan cuma sekedar corat-coret huruf. Saya juga lebih memilih berhadapan dengan buku dan kertas serta bolpoin ketimbang memencet papan ketik komputer. Bisa jadi, hal tersebut yang membuat saya selalu nyaman bermain dengan kata, mengkombinasikan kalimat atau mengenal diksi yang jarang digunakan. Saya sungguh mencintai menulis. Meski demikian, sama sekali tidak ada piala yang terpajang di meja belajar saya. Selama pendidikan dasar, saya belum pernah menjadi kampiun pada perlombaan menulis cerpen ataupun merangkai puisi.

Ketika saya mulai mengenal periklanan dan mencoba magang sebagai penulis naskah iklan di sebuah agensi Jakarta sekitar 2 tahun silam, seolah saya merasakan kurangnya antusiasme dalam menulis. Bukan karena saya lantas melihat aktivitas menulis yang dikomoditaskan sebagai pekerjaan, toh saya selama ini berusaha meyakinkan diri bahwa saya tidak bekerja, melainkan berkarya.

Menurut saya, adalah benar apabila iklan lebih dinilai sebagai bentuk komunikasi pemasaran. Iklan tak lagi bisa dipandang sebagai pengejawantahan budaya bujuk rayu semata. Bekerja di agensi periklanan mengartikan bahwa saya harus lebih responsif, sensitif, berwawasan luas dan mulai mengenal jurus-jurus pemasaran. Pendek kata, saya tak boleh idealis, saya harus kompromis! Dulu, saya tak pernah merasa susah untuk membuat cerpen, puisi ataupun ulasan panjang sekalipun. Sekarang saya bisa menghabiskan setengah pak rokok hanya untuk membuat headline iklan atau juga menulis body copy. Membuat kalimat pertama, tak jarang menjadikan saya frustasi.

Tapi saya toh tetap mencintai karya semacam ini. Saya memiliki guru-guru terbaik yang tak lain adalah atasan dan rekan-rekan kerja saya. Memang dibutuhkan waktu cukup lama untuk menampar seorang jawa seperti saya agar bisa belajar lebih cepat. Bagi saya, itu tidak masalah selama saya bisa belajar dan berkembang! Lagipula, kini saya sudah mulai tahu apa penyebab ketidaknyamanan saya dalam menulis selama 16 bulan terakhir ini.

Saya harus bisa menulis dengan hati! Ya! Bahkan sebuah iklan pun menganut kriteria insightfull alias relevan dan menyentuh sasarannya. Dengan hati? Tentu saja! Saya percaya iklan yang paling efektif adalah iklan dengan pendekatan emosi! Lihat saja fenomena virus "I Love You" yang begitu cepat dan dengan mudah menginfeksi surat nirkabel! Hal tersebut menunjukan kepada saya betapa setiap orang merasa tersentuh ketika mereka mendapati kata I Love You dalam surat nirkabel. Tua, muda, pria, wanita, pelajar hingga pekerja, miskin atau kaya... emosi kita tak pernah sulit untuk digerakkan! Jika saya bisa menulis dengan hati, maka saya bisa memenangkan orang lain. Tak peduli apa pekerjaan menulis macam apa yang saya lakukan.

Seorang pengarah kreatif di agensi tempat saya magang dulu pernah menyebut bahwa rahasia menulis dengan hati ialah melalui pemahaman konsumen yang mendalam. Semakin saya bisa mengerti suara terdalam sasaran komunikasi maka saya lebih berpeluang untuk berhasil berkomunikasi dengan mereka. Seolah seperti melamar cinta seorang wanita. Mulai dari jenis merek parfum yang dipakai, warna favorit, hingga jadwal mentruasinya harus dicari tahu. Pun, pengetahuan kita mengenai dirinya merupakan bagian pemahaman yang nantinya sangat membantu untuk menyusun kapan, dimana dan bagaimana "penembakan" dilakukan. Menulis dengan hati adalah how-to-say bukan what-to-say, bahwa kalimat "I Love You" bukan menjadi intinya, melainkan kapan, dimana, dan bagaimana kalimat "I Love You" diungkapkan; bisa verbal bisa tidak.

Salah seorang penulis naskah senior di kantor saya pernah pula berujar kalau menulis dengan hati itu cuma masalah pendekatan komunikasi saja. Ada kalanya yang dibutuhkan hanyalah bicara apa adanya, dengan bahasa target, bisa menjawab brief, dan menunjukkan product sebagai poin utama. Menurutnya menulis dengan hati lebih pada kemampuan kita untuk berempati dengan target dan mendalami produk.
Pada kenyataannya saya masih saja mencari jawaban yang bisa memuaskan. Bisa jadi karena saya belum gigih ketika meramu konsep, komunikasi, maupun eksekusi atau saya belum sanggup mendalami insight target.

Namun seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini,... menulis dengan hati bukanlah hal yang mudah, setidaknya bagi saya. Belajar maupun kerja keras saja tidaklah cukup dan saya tidak akan menyesal jika harus menghabiskan, katakanlah separuh dari masa hidup saya. Mata hati saya meyakini bahwa kelak saya bisa dengan mudah melakukannya. Semoga Tuhan memberkati saya.

September 15, 2006



Selamat malam, para kolega dan rekan sekalian. Maaf mengganggu jadwal kalian, membuat acara mendadak dan memaksa kalian menyetor muka kemari. Malam ini kita sengaja dikumpulkan di sini untuk merayakan beberapa hal: ulang tahun bersama David Bebek, Kelik Broto, dan Alina, serta syukuran kelulusan Juragan Boim, Iko Deddy, dan Ririe Broto. Ini cuma acara kecil-kecilan dan ini juga hanya sekadar omong elek-elekan.

Saya sadar, saya bukan siapa-siapa di sini. Saya cuma bocah kemarin sore, yang kebetulan Tiong Hoa. Akan tetapi, saya terlanjur mengenal dan dikenal oleh kalian, bersama-sama dengan kalian menjadi bagian dari komunitas ini. Pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan beberapa hal tentang kita; tentang komunitas ini. Bukannya mau sok tahu, tetapi saya bermaksud menjadi juru bicara—kalau tidak bisa dianggap penengah—di antara kita semua. Mumpung saya masih bebas konflik. Mbuh mengko, kalau ternyata ada yang tidak senang dengan apa yang akan saya sampaikan berikut ini. Maaf merepotkan.

Banyak hal sudah berubah di antara kita. Enam tahun lebih kita bersama, tentu kita saling merasakan perubahan tersebut. Dahulu masih enak-enak kuliah, sekarang sudah harus mikir omah-omah, atau paling-tidak cunthel ngarang skripsi. Dahulu masih ubyang-ubyung ra jelas, sekarang mesti mikir pemasukan dikurangi pengeluaran, sisanya untuk tabungan. Dahulu suka ramai-ramai, sekarang cukup berdua satu tujuan.... Ada perubahan relasi dan keintiman yang menyertai pertambahan usia kita dan usia pertemanan kita. Harus diakui, ada friksi yang pernah melanda beberapa orang di antara kita. Itu wajar, justru karena kita berteman sudah lama, dan bukan semata-mata bocah kemarin sore seperti saya. Padahal, ini barulah sebuah awal. Setelah ini, masih banyak lagi perubahan yang akan terjadi, for better or worse. Stem-an gitar yang pernah harmonis dahulu, kini harus distel kendho atau malah semakin dikencangkan, berhubung nada dasar yang dipakai kini tidak lagi sama.

Tidak seorang pun dapat mempertahankan status quo. Tidak seorang pun dapat mempertahankan perubahan. Ada kalanya kita mesti menjaga status quo, ada kalanya juga kita mesti berubah. Lihat-lihat tanda zaman saja.

Kak Boim sudah sarjana, lalu mungkin mau meneruskan S2 di perguruan Ganesha di Kota Kembang, mungkin juga akan coba-coba peruntungan di kota lain. Jadi kantor akan ditutup sementara, sampai Boim pulang kembali ke Yogya, siap menikah lah pokoknya. Didik “Wedhus” sudah dipastikan alih profesi, tinggal bagaimana dia ngecakake modal yang disiapkan Boim. David Bebek akhir-akhir ini diserang paranoid, takut bertemu orang lain yang ramai-ramai.

Kelik Broto sudah mulai mapan di Ibukota, setelah meninggalkan Citra Web dan Calista menuju Tamasya. Oca Manis sudah menyusul, ikut perjalanan ke barat, adu nasib cara metropolitan. Ririe Broto baru saja dinyatakan lolos pemilihan untuk dipakaikan toga. Selanjutnya, dia ingin mendalami jurnalistik dan menambah berat badan. Tyo Gendhet, yang sudah berkelebihan berat badan, malah banting setir dari Program Director RBTV menjadi peraga iklan Togamas, sekarang malah mau mencoba menjadi barista Rumah Kopi, mengumpulkan modal untuk menjadi juragan angkringan dan kursus memasak. Pak PS sudah naik pangkat, setelah meniti karier sekian lama, dari kamerawan sekarang menjadi salah satu tim multimedia Butet Kartaredjasa.

Giras semakin mantap di dunia sinema setelah sempat menjadi kacung Garin Nugroho ketika menggarap Opera Jawa. Mareta juga sudah mapan menjadi Njonja Tanah, menjual kavling-kavling kamar untuk Kartini-Kartini muda yang dituntut ilmu di Kota Pelajar ini. Nanox sudah beberapa lama pindah kampus, tetapi naik jenjang menjadi S2. Iko Deddy juga sudah sarjana, tetapi sepertinya masih belum merencanakan apa-apa. Banik masih menyibukkan diri berkarya bersama Kalasan Multimedia. Arin sedang agak bingung, bisnis garmennya sepi order. Padahal, Doelindo masih rindu order, walau kemelut yang dihadapi sekarang sudah berbeda dari yang usahanya yang terdahulu. Jericho sudah kangen panggung, tinggal menunggu skenario yang pas, maka bersinarlah kembali dia di dunia akting. Sementara itu, Jordana harus memendam bakatnya yang adiluhung karena mesti berkonsentrasi terhadap studinya.

Ada pula sekelumit kisah yang melibatkan trio Nobi–Elga–Christa. Ria Kriwil. Iwan Effendi. Tekek. Alina. Mitul. Iput. Noel. Wahyu. Berto. Kowoek. Ceper. Agung Kociro. Komeng. Tonton. Shinta. Agnes. Ya semua saja lah yang ada di milis ini. Semua saling mencoba-coba peruntungan dan bukan tidak mungkin kita juga saling merepotkan. Harus disadari, saling mengisi juga secara logis pasti berarti saling menggerogoti. Perkaranya tinggal yang mana yang dominan dan bagaimana pihak yang bersangkutan bisa meredam konflik, supaya genderang perang tidak perlu sampai ditabuh. Kalau pun sudah terlanjur ada kekeluan lidah untuk saling bicara, maka anggaplah teori perdamaian tadi dipelintir sedikit menjadi semacam gencatan senjata dan rekonsiliasi. Hisaplah cerutu perdamaian!

Kotasis adalah kita: Komunitas Taman Siswa, pindahan dari rumah tante di Jl. Taman Siswa MG II/1265 A. Kotasis Kamar Desain berawal dari Kak Boim dan Koh Bebek yang butuh penyaluran minat dan bakat. Ndilalah, kok, cukup menghasilkan, sehingga bisa sampai seperti sekarang ini. Komunitas tetap dipertahankan supaya guyub, demi sebuah pertemanan. Karena KITA BERTEMAN SUDAH LAMA. Cukup lama meski untuk sekadar kembali berkumpul, nostalgia zaman lawasan, ketika Benyamin masih bisa roman-romanan dengan Ida Royani. Jolali..., karena setelah ini kita mungkin tidak akan bertemu lagi sampai nanti, sampai Letto tidak terkenal lagi. Maka dari itu, lepaskanlah sejenak riasan dan atribut kita, tinggalkanlah sejenak kehidupan pribadi kita, kita kenang kembali masa-masa ketika kita masih lebih muda dua atau tiga tahun, masih sering berandrawinan dengan kawan-kawan, masih bisa tertawa dengan tulus kepada sesama sobat.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, “kita berteman sudah lama” tadi apakah sudah menjadi landasan semangat pertemanan kita atau memang tidak lebih dari sekadar slogan. Poin penting dari kalimat pendek tersebut bukan pada jangka waktu pertemanan kita, sebagaimana tampak secara eksplisit, melainkan justru pada makna implisit kalimat tersebut, yaitu sungguhkah kita sudah mengenal orang yang kita panggil “teman” itu, setelah sekian lama kita berteman. Apakah kita tahu mengapa dia tiba-tiba bersikap seperti demikian pada kondisi yang demikian. Apakah kita tahu, bahwa si dia bukan tipe orang yang demikian, hanya saja dia pasti akan demikian jika kita bersikap demikian terhadap dia terlebih dahulu. Sebagai teman, apa pantas kita bersikap seperti demikian terhadap dia. Begini nih nih nih. Begitu tuh tuh tuh.

Cobalah berpikir lagi. Apakah makna teman? Apakah pula makna pertemanan kita selama ini? Kita ini teman yang baik atau bukan? Itu dia!
Oleh sebab itu, kita sampai kepada pertanyaan, “NEK URIPMU GAREK SESUK, NJUR KOWE AREP NGAPA?” (“JIKA HIDUPMU TINGGAL BESOK, LALU KAMU MAU APA?”)

Akankah konflik itu dibiarkan berlarut-larut sehingga kita mati tidak tenang? Akankah pencarian jati diri itu terhenti tanpa konklusi? Akankah masalah hidup itu dibiarkan merong-rong peri kehidupan kita, padahal kita belum sempat bernafas lega? Akankah rezeki tetap dicari, padahal kita belum sempat berfoya-foya menghamburkannya? Atau akankah kita berhenti mengayunkan langkah, lantas melihat kembali ke belakang, menilai diri kita sendiri, sebetulnya selama ini saya ngapain saja sih? Itu dia!

Renungan yang dibacakan pada pertemuan Now or Never di Kotasis pada 4 September 2006 lalu ini ditulis oleh Budi N.D. Dharmawan

September 06, 2006

Lebih Baik Kita Temenan Aja!



Saya percaya kalimat tersebut dibenci 7 dari 10 remaja laki-laki di Indonesia. Meski demikian kalimat di atas masih merupakan asumsi penilaian saya saja dan bukan menjadi sebuah pernyataan yang diperoleh lewat jejak pendapat. Tapi saya cukup yakin seandainya dibuat sebuah riset untuk membuktikan keabsahannya, pastilah hasilnya juga tidak jauh beda.

Begini ceritanya, beberapa hari yang lalu saya pulang ke Jogja dan mengunjungi kolega lama yang kebetulan tinggal dalam satu kontrakan. Kami sempat bercanda soal beberapa wacana iklan yang mengangkat perbandingan secara kuantitas untuk mengkomunikasikan produknya. Sebuah produk pembalut wanita semisal, telah mengklaim bahwa 7 dari 10 wanita mengkonsumsi produknya. Setelah itu diantara kami terlontar beberapa gurauan perbandingan, salah satunya saya yang menerka soal kalimat favorit kaum hawa untuk mengakhiri todongan asmara dari sang penembak! Waktu itu kedua kolega tersebut sontak berteriak "soriiii, kita temenan aja!".

AHA! Menurut saya, kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! kemungkinan telah menjadi insight bagi mereka yang pernah ditolak! Biasanya kalimat penolakan tersebut juga diikuti kalimat lain sebagai penjelas! Disini adanya kalimat penjelas setelah kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! menunjukkan susunan kalimat penolakan biasanya adalah kalimat induksi! Dimana konklusi terletak di awal mendahului penjelasan. Jika sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! menjadi umum untuk digunakan, kalimat penjelas biasanya lebih beragam. Mulai dari "kamu kan udah aku anggep sahabat", "kayaknya kita lebih cocok jadi adek kakak", atau "aku belum kepikiran soal pacaran, kan kita masih sekolah!"

Saya sendiri pernah mendapat alasan yang menurut saya luar biasa tidak masuk diakal,.. "sori yo tapi bulan depan aku kayaknya mau dikirim ke singapura buat disekolahin sama ortu". Benar-benar bukan alasan yang pintar karena sebulan setelah penolakan itu saya masih bertemu dengannya di bangku kuliah hingga 4 tahun sesudahnya. Menurut saya, kalimat sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! seolah menjadi tidak menyentuh. Mungkin karena terlalu banyak dipakai oleh wanita sebagai pamungkas untuk menolak. Andai saja wanita mencoba untuk menggali lebih banyak, mungkin bisa banyak kalimat penolakan yang lebih halus.

Misalnya begini, nama Anda adalah Dicky dan Anda baru saja menyatakan cinta pada gadis yang dicintai tapi ini yang diucapkannya; "Dicky! Aku benar-benar tidak menyangka kamu senekat ini! Meminta aku untuk jadi pacarmu cuma bisa jadi impianku! Aku nggak mau kamu menyakiti dirimu sendiri dengan mengecewakanmu! Di keluargaku ada keturunan penyakit jantung dan stroke! Aku nggak mau kalo hubungan asmara kita yang nantinya berbuah pernikahan di kemudian hari membuat anak kita berpotensi mengalami gagal jantung! Sori Dick, tapi kamu menyakiti hatiku karena telah mencintaiku!"

Coba bandingkan jika Anda cuma mendengar sori aku nggak bisa, lebih baik kita temenan aja! lagipula selama perasaanku ini ke kamu biasa aja! Demi Tuhan, saya yakin Anda ingin membakarnya hidup-hidup saat itu juga! Tulisan ini bukan saya buat hanya atas dasar emosi saja. Saya juga tidak ditolak belakangan ini. Saya cuma ingin mendorong para wanita untuk lebih kreatif lagi dalam mengolah kalimat penolakan, setidaknya menyiapkan 3 alternatif atau membuat case studies terlebih dahulu. Menghubungi agensi kreatif atau penulis naskah lepasan juga sangat dianjurkan. Paling tidak dengan lebih halus dan kreatif dalam menolak, si pria tidak pulang dengan wajah memelas dan hati hampa, minimal mereka tidak mabuk-mabukan pada malam sesudah penolakan.
Negeri dibalik Pelangi



The Wizard of Oz adalah cerita klasik yang menjadi salah satu favorit saya. Kisah tentang Dorothy dan anjingnya Toto yang terdampar di negeri Oz, sedikit banyak telah memberikan gambaran kepada saya tentang pencarian untuk sebuah tujuan hidup.
Cerita bermula dari tanah pertanian Kansas dimana Dorothy dan Toto yang tiba-tiba terjebak beliung, kemudian berada di sebuah negeri dibalik pelangi. Dalam perjalanannya untuk menemukan arah pulang menuju rumah, mereka bertemu The Scarecrow si bijak penuh keluguan yang ingin untuk menjadi manusia, Tinman sang penebang kayu dengan impiannya untuk memiliki sebuah hati, dan Lion, singa pengecut yang mendambakan keberanian.

Bersama-sama, mereka menyusuri jalanan yang terbuat dari bata berwarna kuning, menuju Kota Emerald dan menemui penyihir agung Oz, satu-satunya harapan bagi Dorothy untuk kembali ke Kansas. Tak sekedar menolong Dorothy, Scarecrow, TinMan, dan Lion juga berharap bertemu sang penyihir agung agar masing-masing impiannya dapat dikabulkan. Namun seperti halnya kehidupan, segala sesuatunya tidak selalu bisa dicapai dengan gampang, sebuah keinginan kadang memerlukan keberanian sekaligus perjuangan. Dikisahkan Dorothy dan kawan-kawan yang harus berhadapan dengan penyihir jahat dari Barat sebelum bertemu dengan penyihir agung Oz.

Ketika sampai pada akhir cerita, penyihir agung Oz mengembalikan Dorothy dan anjingnya Toto ke Kansas. Namun penyihir agung Oz hanya menggelengkan kepala ketika Scarecrow, TinMan, dan Lion meminta hal yang sama yakni agar impian masing-masing bisa terkabul. "Buat apa aku mengabulkan permintaan yang sudah terpenuhi?" tanya penyihir agung Oz. Sebenarnya yang dimaksudkan penyihir agung Oz adalah bahwa Scarecrow, TinMan, dan Lion sudah memiliki apa yang sebenarnya mereka cari. Scarecrow yang memiliki kepedulian untuk membantu Dorothy dan Toto telah memperlihatkan sosok manusiawi dengan jiwa penolong. TinMan yang bercita-cita memiliki hati juga sudah menunjukkan belas kasih dan berpihak pada kebaikan. Sedangkan Lion dengan berani telah menghalau anak buah penyihir jahat dari Barat untuk melindungi Dorothy dan membuktikan bahwa ia bukan makluk pengecut!

Terkadang cerita tersebut selalu muncul di benak saya ketika saya memiliki keinginan. Pernah suatu hari saya berandai-andai untuk bisa menjadi seorang pengarah kreatif di sebuah agensi dengan billing pemasukan besar, rak penuh penghargaan kreativitas, dan memiliki penghasilan yang bisa membuat saya memiliki sebuah rumah Jogjo di Sawojajar 5 Jogjakarta. Bisa jadi akan seperti itulah saya di kemudian hari nanti. Mungkin saja setumpuk pekerjaan, omelan, kritikan, dan revisi ataupun rasa sakit karena penolakan klien serta atasan adalan jalanan bata berwarna kuning bagi saya untuk menuju kota Emerald. Hal tersebut selalu membuat saya tak perlu berpikir soal seberapa lama atau sebanyak apa penderitaan yang akan saya terima. Toh, saya juga seorang jawa yang takkan pernah bisa melepaskan diri dari kutukan kepasrahan. Saya hanya harus berusaha sebaik dan secepat mungkin,.. and that's the bottom line!


Seekor elang terjatuh dari sarangnya yang terletak di puncak tebing tinggi. Ia terjatuh pada sebuah peternakan ayam di bawahnya. Hingga ia beranjak remaja ia berkumpul bersama ayam dan tidak bisa terbang karena ia tak pernah lagi mengepakkan sayap dan juga merasa dirinya sebagai ayam. Suatu hari, terbanglah elang besar diatas peternakan. Sambil terkagum, elang ayam tersebut berujar "andai aku menjadi elang, pastilah aku bisa mengangkasa segagah dia".

Elang besar tersebut mendengarnya dan kemudian ia mendarat tepat di hadapan elang ayam. "Alangkah bodohnya dirimu, kau adalah elang, belajarlah mengepakkan sayapmu untuk bisa terbang" sahut elang besar yang kemudian kembali menangkasa. Hingga di akhir hidupnya, elang ayam tersebut tak pernah mencoba mengepakkan sayap, ia tak menyadari bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk bisa gagah melayang. Ia mengakhiri hidupnya sebagai seekor ayam.

diambil dari Awareness - Anthony de Melo