September 28, 2006

Menulis dengan Hati



Akhir-akhir ini, saya memiliki sebuah ganjalan yang berkenaan dengan pekerjaan saya. Saya adalah seorang penulis naskah di sebuah agensi iklan. Profesi mengharuskan saya untuk bisa berkomunikasi dengan sasaran konsumen. Saya wajib bicara dengan bahasa target sasaran iklan, secara mendalam, dari hati ke hati. Alangkah senangnya andaikata saya dengan mudah bisa melakukannya. Namun selama hampir 16 bulan menjalani profesi ini, saya masih belum merasa untuk bisa menulis dengan hati. Dapat dikatakan kalau saya benar-benar bingung setengah mati.

Jujur saja, saya sangat menikmati menulis. Bagi saya, menulis merupakan sebuah kenyamanan meski yang saya lakukan cuma sekedar corat-coret huruf. Saya juga lebih memilih berhadapan dengan buku dan kertas serta bolpoin ketimbang memencet papan ketik komputer. Bisa jadi, hal tersebut yang membuat saya selalu nyaman bermain dengan kata, mengkombinasikan kalimat atau mengenal diksi yang jarang digunakan. Saya sungguh mencintai menulis. Meski demikian, sama sekali tidak ada piala yang terpajang di meja belajar saya. Selama pendidikan dasar, saya belum pernah menjadi kampiun pada perlombaan menulis cerpen ataupun merangkai puisi.

Ketika saya mulai mengenal periklanan dan mencoba magang sebagai penulis naskah iklan di sebuah agensi Jakarta sekitar 2 tahun silam, seolah saya merasakan kurangnya antusiasme dalam menulis. Bukan karena saya lantas melihat aktivitas menulis yang dikomoditaskan sebagai pekerjaan, toh saya selama ini berusaha meyakinkan diri bahwa saya tidak bekerja, melainkan berkarya.

Menurut saya, adalah benar apabila iklan lebih dinilai sebagai bentuk komunikasi pemasaran. Iklan tak lagi bisa dipandang sebagai pengejawantahan budaya bujuk rayu semata. Bekerja di agensi periklanan mengartikan bahwa saya harus lebih responsif, sensitif, berwawasan luas dan mulai mengenal jurus-jurus pemasaran. Pendek kata, saya tak boleh idealis, saya harus kompromis! Dulu, saya tak pernah merasa susah untuk membuat cerpen, puisi ataupun ulasan panjang sekalipun. Sekarang saya bisa menghabiskan setengah pak rokok hanya untuk membuat headline iklan atau juga menulis body copy. Membuat kalimat pertama, tak jarang menjadikan saya frustasi.

Tapi saya toh tetap mencintai karya semacam ini. Saya memiliki guru-guru terbaik yang tak lain adalah atasan dan rekan-rekan kerja saya. Memang dibutuhkan waktu cukup lama untuk menampar seorang jawa seperti saya agar bisa belajar lebih cepat. Bagi saya, itu tidak masalah selama saya bisa belajar dan berkembang! Lagipula, kini saya sudah mulai tahu apa penyebab ketidaknyamanan saya dalam menulis selama 16 bulan terakhir ini.

Saya harus bisa menulis dengan hati! Ya! Bahkan sebuah iklan pun menganut kriteria insightfull alias relevan dan menyentuh sasarannya. Dengan hati? Tentu saja! Saya percaya iklan yang paling efektif adalah iklan dengan pendekatan emosi! Lihat saja fenomena virus "I Love You" yang begitu cepat dan dengan mudah menginfeksi surat nirkabel! Hal tersebut menunjukan kepada saya betapa setiap orang merasa tersentuh ketika mereka mendapati kata I Love You dalam surat nirkabel. Tua, muda, pria, wanita, pelajar hingga pekerja, miskin atau kaya... emosi kita tak pernah sulit untuk digerakkan! Jika saya bisa menulis dengan hati, maka saya bisa memenangkan orang lain. Tak peduli apa pekerjaan menulis macam apa yang saya lakukan.

Seorang pengarah kreatif di agensi tempat saya magang dulu pernah menyebut bahwa rahasia menulis dengan hati ialah melalui pemahaman konsumen yang mendalam. Semakin saya bisa mengerti suara terdalam sasaran komunikasi maka saya lebih berpeluang untuk berhasil berkomunikasi dengan mereka. Seolah seperti melamar cinta seorang wanita. Mulai dari jenis merek parfum yang dipakai, warna favorit, hingga jadwal mentruasinya harus dicari tahu. Pun, pengetahuan kita mengenai dirinya merupakan bagian pemahaman yang nantinya sangat membantu untuk menyusun kapan, dimana dan bagaimana "penembakan" dilakukan. Menulis dengan hati adalah how-to-say bukan what-to-say, bahwa kalimat "I Love You" bukan menjadi intinya, melainkan kapan, dimana, dan bagaimana kalimat "I Love You" diungkapkan; bisa verbal bisa tidak.

Salah seorang penulis naskah senior di kantor saya pernah pula berujar kalau menulis dengan hati itu cuma masalah pendekatan komunikasi saja. Ada kalanya yang dibutuhkan hanyalah bicara apa adanya, dengan bahasa target, bisa menjawab brief, dan menunjukkan product sebagai poin utama. Menurutnya menulis dengan hati lebih pada kemampuan kita untuk berempati dengan target dan mendalami produk.
Pada kenyataannya saya masih saja mencari jawaban yang bisa memuaskan. Bisa jadi karena saya belum gigih ketika meramu konsep, komunikasi, maupun eksekusi atau saya belum sanggup mendalami insight target.

Namun seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini,... menulis dengan hati bukanlah hal yang mudah, setidaknya bagi saya. Belajar maupun kerja keras saja tidaklah cukup dan saya tidak akan menyesal jika harus menghabiskan, katakanlah separuh dari masa hidup saya. Mata hati saya meyakini bahwa kelak saya bisa dengan mudah melakukannya. Semoga Tuhan memberkati saya.

1 comment:

yokolilo said...

terus maju bos...
meski ngos-ngosan
kita tetep bisa maju