September 15, 2006



Selamat malam, para kolega dan rekan sekalian. Maaf mengganggu jadwal kalian, membuat acara mendadak dan memaksa kalian menyetor muka kemari. Malam ini kita sengaja dikumpulkan di sini untuk merayakan beberapa hal: ulang tahun bersama David Bebek, Kelik Broto, dan Alina, serta syukuran kelulusan Juragan Boim, Iko Deddy, dan Ririe Broto. Ini cuma acara kecil-kecilan dan ini juga hanya sekadar omong elek-elekan.

Saya sadar, saya bukan siapa-siapa di sini. Saya cuma bocah kemarin sore, yang kebetulan Tiong Hoa. Akan tetapi, saya terlanjur mengenal dan dikenal oleh kalian, bersama-sama dengan kalian menjadi bagian dari komunitas ini. Pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan beberapa hal tentang kita; tentang komunitas ini. Bukannya mau sok tahu, tetapi saya bermaksud menjadi juru bicara—kalau tidak bisa dianggap penengah—di antara kita semua. Mumpung saya masih bebas konflik. Mbuh mengko, kalau ternyata ada yang tidak senang dengan apa yang akan saya sampaikan berikut ini. Maaf merepotkan.

Banyak hal sudah berubah di antara kita. Enam tahun lebih kita bersama, tentu kita saling merasakan perubahan tersebut. Dahulu masih enak-enak kuliah, sekarang sudah harus mikir omah-omah, atau paling-tidak cunthel ngarang skripsi. Dahulu masih ubyang-ubyung ra jelas, sekarang mesti mikir pemasukan dikurangi pengeluaran, sisanya untuk tabungan. Dahulu suka ramai-ramai, sekarang cukup berdua satu tujuan.... Ada perubahan relasi dan keintiman yang menyertai pertambahan usia kita dan usia pertemanan kita. Harus diakui, ada friksi yang pernah melanda beberapa orang di antara kita. Itu wajar, justru karena kita berteman sudah lama, dan bukan semata-mata bocah kemarin sore seperti saya. Padahal, ini barulah sebuah awal. Setelah ini, masih banyak lagi perubahan yang akan terjadi, for better or worse. Stem-an gitar yang pernah harmonis dahulu, kini harus distel kendho atau malah semakin dikencangkan, berhubung nada dasar yang dipakai kini tidak lagi sama.

Tidak seorang pun dapat mempertahankan status quo. Tidak seorang pun dapat mempertahankan perubahan. Ada kalanya kita mesti menjaga status quo, ada kalanya juga kita mesti berubah. Lihat-lihat tanda zaman saja.

Kak Boim sudah sarjana, lalu mungkin mau meneruskan S2 di perguruan Ganesha di Kota Kembang, mungkin juga akan coba-coba peruntungan di kota lain. Jadi kantor akan ditutup sementara, sampai Boim pulang kembali ke Yogya, siap menikah lah pokoknya. Didik “Wedhus” sudah dipastikan alih profesi, tinggal bagaimana dia ngecakake modal yang disiapkan Boim. David Bebek akhir-akhir ini diserang paranoid, takut bertemu orang lain yang ramai-ramai.

Kelik Broto sudah mulai mapan di Ibukota, setelah meninggalkan Citra Web dan Calista menuju Tamasya. Oca Manis sudah menyusul, ikut perjalanan ke barat, adu nasib cara metropolitan. Ririe Broto baru saja dinyatakan lolos pemilihan untuk dipakaikan toga. Selanjutnya, dia ingin mendalami jurnalistik dan menambah berat badan. Tyo Gendhet, yang sudah berkelebihan berat badan, malah banting setir dari Program Director RBTV menjadi peraga iklan Togamas, sekarang malah mau mencoba menjadi barista Rumah Kopi, mengumpulkan modal untuk menjadi juragan angkringan dan kursus memasak. Pak PS sudah naik pangkat, setelah meniti karier sekian lama, dari kamerawan sekarang menjadi salah satu tim multimedia Butet Kartaredjasa.

Giras semakin mantap di dunia sinema setelah sempat menjadi kacung Garin Nugroho ketika menggarap Opera Jawa. Mareta juga sudah mapan menjadi Njonja Tanah, menjual kavling-kavling kamar untuk Kartini-Kartini muda yang dituntut ilmu di Kota Pelajar ini. Nanox sudah beberapa lama pindah kampus, tetapi naik jenjang menjadi S2. Iko Deddy juga sudah sarjana, tetapi sepertinya masih belum merencanakan apa-apa. Banik masih menyibukkan diri berkarya bersama Kalasan Multimedia. Arin sedang agak bingung, bisnis garmennya sepi order. Padahal, Doelindo masih rindu order, walau kemelut yang dihadapi sekarang sudah berbeda dari yang usahanya yang terdahulu. Jericho sudah kangen panggung, tinggal menunggu skenario yang pas, maka bersinarlah kembali dia di dunia akting. Sementara itu, Jordana harus memendam bakatnya yang adiluhung karena mesti berkonsentrasi terhadap studinya.

Ada pula sekelumit kisah yang melibatkan trio Nobi–Elga–Christa. Ria Kriwil. Iwan Effendi. Tekek. Alina. Mitul. Iput. Noel. Wahyu. Berto. Kowoek. Ceper. Agung Kociro. Komeng. Tonton. Shinta. Agnes. Ya semua saja lah yang ada di milis ini. Semua saling mencoba-coba peruntungan dan bukan tidak mungkin kita juga saling merepotkan. Harus disadari, saling mengisi juga secara logis pasti berarti saling menggerogoti. Perkaranya tinggal yang mana yang dominan dan bagaimana pihak yang bersangkutan bisa meredam konflik, supaya genderang perang tidak perlu sampai ditabuh. Kalau pun sudah terlanjur ada kekeluan lidah untuk saling bicara, maka anggaplah teori perdamaian tadi dipelintir sedikit menjadi semacam gencatan senjata dan rekonsiliasi. Hisaplah cerutu perdamaian!

Kotasis adalah kita: Komunitas Taman Siswa, pindahan dari rumah tante di Jl. Taman Siswa MG II/1265 A. Kotasis Kamar Desain berawal dari Kak Boim dan Koh Bebek yang butuh penyaluran minat dan bakat. Ndilalah, kok, cukup menghasilkan, sehingga bisa sampai seperti sekarang ini. Komunitas tetap dipertahankan supaya guyub, demi sebuah pertemanan. Karena KITA BERTEMAN SUDAH LAMA. Cukup lama meski untuk sekadar kembali berkumpul, nostalgia zaman lawasan, ketika Benyamin masih bisa roman-romanan dengan Ida Royani. Jolali..., karena setelah ini kita mungkin tidak akan bertemu lagi sampai nanti, sampai Letto tidak terkenal lagi. Maka dari itu, lepaskanlah sejenak riasan dan atribut kita, tinggalkanlah sejenak kehidupan pribadi kita, kita kenang kembali masa-masa ketika kita masih lebih muda dua atau tiga tahun, masih sering berandrawinan dengan kawan-kawan, masih bisa tertawa dengan tulus kepada sesama sobat.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, “kita berteman sudah lama” tadi apakah sudah menjadi landasan semangat pertemanan kita atau memang tidak lebih dari sekadar slogan. Poin penting dari kalimat pendek tersebut bukan pada jangka waktu pertemanan kita, sebagaimana tampak secara eksplisit, melainkan justru pada makna implisit kalimat tersebut, yaitu sungguhkah kita sudah mengenal orang yang kita panggil “teman” itu, setelah sekian lama kita berteman. Apakah kita tahu mengapa dia tiba-tiba bersikap seperti demikian pada kondisi yang demikian. Apakah kita tahu, bahwa si dia bukan tipe orang yang demikian, hanya saja dia pasti akan demikian jika kita bersikap demikian terhadap dia terlebih dahulu. Sebagai teman, apa pantas kita bersikap seperti demikian terhadap dia. Begini nih nih nih. Begitu tuh tuh tuh.

Cobalah berpikir lagi. Apakah makna teman? Apakah pula makna pertemanan kita selama ini? Kita ini teman yang baik atau bukan? Itu dia!
Oleh sebab itu, kita sampai kepada pertanyaan, “NEK URIPMU GAREK SESUK, NJUR KOWE AREP NGAPA?” (“JIKA HIDUPMU TINGGAL BESOK, LALU KAMU MAU APA?”)

Akankah konflik itu dibiarkan berlarut-larut sehingga kita mati tidak tenang? Akankah pencarian jati diri itu terhenti tanpa konklusi? Akankah masalah hidup itu dibiarkan merong-rong peri kehidupan kita, padahal kita belum sempat bernafas lega? Akankah rezeki tetap dicari, padahal kita belum sempat berfoya-foya menghamburkannya? Atau akankah kita berhenti mengayunkan langkah, lantas melihat kembali ke belakang, menilai diri kita sendiri, sebetulnya selama ini saya ngapain saja sih? Itu dia!

Renungan yang dibacakan pada pertemuan Now or Never di Kotasis pada 4 September 2006 lalu ini ditulis oleh Budi N.D. Dharmawan

No comments: