January 29, 2007

Dos moi pou sto Kai tengen Kineso




Berikan Aku Tempat Berpijak, Maka Akan Kugoncang Dunia
Beruntunglah saya yang menjadi seorang penulis naskah iklan karena menurut saya, tidak ada pekerjaan di muka bumi yang sebaik ini. Bukan karena saya bisa berambut gondrong, memakai kaos dan jeans sobek ataupun bebas melontarkan segala yang tidak masuk akal. Ini bukanlah soal berangkat kerja, pulang, dan menerima gaji di akhir bulan. Ini juga bukan soal berkarya untuk seni atau berdiri pada sisi kapitalisme dan melegetimasi konsumerisme. Apalagi sebuah peran untuk menjadi orang utama yang berdiri di podium dan mengangkat sebuah penghargaan kreatif setinggi-tingginya. Jauh melampaui semua itu, ini adalah soal passion. Tiket sekali jalan untuk sebuah cita-cita seumur hidup. Bagi saya ini adalah usaha untuk menjadi diri sendiri segenap hati, dengan segala kemampuan dan setiap manis pahit pembelajarannya.

Layar telepon genggam saya menyala. Segera setelah membuka pesan yang masuk, saya mengetahui bahwa seorang rekan kantor saya, sesama penulis naskah, memberitahukan bahwa selama seminggu ini dia akan absen. Lever dan gejala tipus menyerangnya. Setahu saya, unitnya mengerjakan kampanye untuk sebuah produk elektronik selama seminggu penuh ini, bahkan selama 2 hari terakhir mereka harus bermalam di kantor. Selain itu dirinya juga masih harus bertanggung jawab untuk klien kami yang lain, sebuah bank dan perusahaan properti. Mungkinkah kerja lembur jadi penyebabnya? Saya tidak tahu pasti, tapi kejadian yang menimpa kawan saya beberapa bulan lalu tersebut mengingatkan saya untuk tidak mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

"Yok, ayo keluar bentar". Seorang pengarah seni junior di kantor saya terlihat ingin membicarakan sesuatu yang penting dan tidak ingin didengar banyak orang. Berdua, kami berdiri di pintu depan kantor di sebelah tangga. "She's dumped me out while he's trying to give me one more chance, damn it!" Saya terdiam sesaat, saya tahu alur cerita sebelumnya sehingga sudah bisa menebak apa yang dikatakannya adalah tentang pemecatan dirinya oleh salah satu atasan kami. Di mata saya, sebenarnya dia adalah pengarah seni yang cukup handal. Memiliki kemampuan fotografi yang matang dan selera seni tinggi, seharusnya posisinya akan cukup mapan andai saja faktor emosinya bisa dikendalikan atau setidaknya ketika ia bekerja sendiri. Sayangnya kami berkarya bukan semata atas nama dan untuk kami sendiri. Kami berkarya bersama dan bagi orang lain. Mulai saat itu saya menyadari bahwa kesetiaan harusnya dilakukan terhadap profesi dan bukan untuk institusi.

Untuk kesekian kalinya, salah satu pengarah seni senior di kantor saya menutup pembicaraan di telepon genggamnya. Dari suara yang cukup jelas terdengar, saya tahu, istrinyalah yang menelepon. Kini ia kembali larut dengan sebuah gambar truk yang ada di layar monitornya. Saya sendiri lumayan kesal dengan deadline ini, bukan saja karena saya harus merelakan untuk tidak menonton Midori Days, serial animasi kesukaan saya di Animax namun lebih pada apa yang terjadi pada rekan kerja saya. Pengarah seni senior tersebut sudah saya anggap kakak sendiri, setidaknya ia telah banyak menuntun saya selama beberapa bulan ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi dan dia masih harus menyelesaikan pekerjaan, meninggalkan istrinya yang tengah di bulan ke-8 kehamilannya yang terlelap sendirian. Dalam hati, saya memahami bahwa karya yang tidak membawa kebahagiaan bagi mereka yang dicintai akan menjadi sangat tidak berarti.

"Lha iyalah bos, gua kan harus nyelesain urusan segini banyaknya, quotations ke klien, nyiapin buat present, bikin brief, trus masih ngelarin progress report,... kalo nggak dateng pagi mana bisa selesai" ujar seorang teman dari divisi bina usaha di kantor saya. Memiliki tempat tinggal yang berjarak sekitar 15 kilometer dari kantor, Ia adalah orang terakhir yang keluar dari ruangan account dan selalu menjadi orang kedua yang datang di kantor, setelah saya tentunya (90% absensi menyatakan saya datang di bawah pukul 8 pagi). Pernah saya mengeluh didepannya, soal saya yang tidak punya waktu untuk bergaul di luar kantor. "Lu masih mendingan, pulang pukul 2 malem masih bisa tidur, lha gua balik jam 2 malem juga langsung diserahin bayi ama bini gua, sudah nangisnya keras susah diajak tidur lagi, tau-tau sudah harus sholat subuh, mandi trus berangkat lagi" lanjutnya . Mendengar itu saya mengerti bahwa tidak akan pernah ada imbalan yang cukup pantas untuk sebuah karya yang dilakukan sepenuh hati, kecuali kepuasan batin.

Ada juga hari dimana saya datang menghadap kepada salah satu atasan untuk membahas tentang kampanye komunikasi klien kami, sebuah perusahaan elektronik. Berbincang cukup lama, ia segera memutuskan kalau saya belum bisa menangkap arahannya. Ya, tentu saja saya bingung karena apa yang disampaikannya semalam tadi amatlah berbeda dengan yang dikatakan hari ini. Tiba-tiba sebuah gebrakan keras di meja menyentak bulu kuduk saya untuk segera berdiri. Entah kenapa saya benar-benar merasa sial hari itu dan sejuta kata makian yang terlontar darinya sangat menyakitkan. Namun yang kemudian menjadi lebih menyesakkan hati adalah kenyataan bahwa acara "Kena Deh" seperti ini adalah sesuatu pasti akan saya dapatkan di setiap sesi review. Sebagai catatan, selama 9 bulan ini saya adalah personel di unit kreatif yang menerima paling banyak makian dan amuk marah para atasan. Namun baru pada hari itulah saya percaya bahwa keberanian bukanlah soal seberapa kuat kita berdiri bertahan melawan apapun yang menimpa kita namun seberapa cepat kita bangun dari jatuh dan kembali berdiri.

Dan setiap larut malam ketika saya pulang kembali ke kos, merebahkan diri di dalam kamar, belum berganti pakaian, dengan kaki yang masih bersepatu, menyalakan sebatang rokok,... dan jauh di dalam hati saya selalu berterima kasih kepada Tuhan atas passion ini.

2 comments:

L. Pralangga said...

berbahagialah buat mereka yang [mampu] bekerja dengan unlimited passion dan bisa durable at all weather...

Seneng udh bisa nemu website ini, yakin say abakal baliklagi mbaca tulisan yang penuh 'passion'..

Wishing you always enthusiastic on your current quest, kind regards from West Africa..

Nia Janiar said...

Mulai saat itu saya menyadari bahwa kesetiaan harusnya dilakukan terhadap profesi dan bukan untuk institusi.

Pekerjaan yang bisa mengekpresikan perasaan + tanggung jawab akan profesi = gk bisa semua orang mendapatkannya :D